Home » , , , , , , » Babad Madiun: Asal-usul Gunung Lawu

Babad Madiun: Asal-usul Gunung Lawu

Written By Panji Revolusi on Sunday, October 20, 2013 | 8:16 PM

Gunung Lawu yang berada di kawasan wilayah Madiun, pada mulanya, disebut dengan nama Gunung Mahendra. Dalam sejarah diceritakan bahwa sepeninggal Empu Sangkala, orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa aman-lestari waktu membuka hutan-hutan dan gunung.
 
Pembukaan Gunung Mahendra, yang nantinya bernama Gunung Lawu,  sebagai perbatasan Surakarta dengan Madiun, terjadi di tahun 30-31 S. Dalam sebuah cerita, proses pembukaan Gunung Candrageni, yang nantinya dikenal dengan nama Gunung Merapi dan pembukaan Gunung Candramuka, yang nantinya dikenal dengan nama Gunung Merbabu, sebagai perbatasan daerah Surakarta dengan Kedu dan Semarang, bersamaan dengan Empu Sangkala mikraj dari Rum. Kala itu, Empu Sangkala berusia 80 tahun. Empu Sangkala mikraj ke tanah Awinda, dalam bahasa Arab disebut tanah Lulmat, yakni dunia gaib yang sunyi. Sesampai di situ, Empu Sangkala meminum air kehidupan, sehingga kemudian menjadi muda lagi dan panjang umurnya.
 
Waktu mikraj tersebut bertepatan dengan masa Wisaka, masih sama dengan tahun ketika membuka Hutan Candramuka dan Candrageni, yakni tahun Supanu. Terhitung tahun 31 S atau 32 C. Bunyi sengkalannya: Anembah Geni Maletik. Sedangkan pembukaan Gunung Muria tanah Jepara pada tahun 32 S atau 33 C.
 
Menurut sebuah cerita, pembukaan Gunung Aswata, yang nantinya disebut Gunung Pandan, merupakan perbatasan Madiun dengan Kediri. Pada waktu itu, ada seseorang bernama Wreka yang membabat hutan, tiba-tiba ia menemukan emas yang terpendam. Orang yang bernama Minangsa kemudian mengetahuinya, lalu minta bagian. Wreka menjawab, “Kamu itu hanya mengetahui, kok minta bagian. Tentu saja kamu hanya akan mendapat sesuai peranmu.”
 
Minangsa lalu segera pergi dan mengambil tanah liat untuk dijadikannya patung Lembu Andini. Sebelum patung itu jadi, ada seorang lelaki pandai bernama Margana, putra muda Prabu Kutastaka. Sang Margana bertanya, “Untuk apa membuat arca?” Minangsa lalu menceritakan apa yang diinginkannya, setelah arca terbentuk, yaitu meminta emas kepada Wreka, karena telah memberi sesuai dengan nilai kerjanya.
 
Sang Margana tertawa lalu berkata, “Kamu apa sudah menjadi hamba sahayanya Wreka?” Jawab Minangsa, “Tidak menghamba.” Sang Margana berkata lagi, “Adapun kata Si Wreka tadi, maksudnya kamu disuruh bekerja sesuai pekerjaanmu. Nah, di situ kamu akan mendapat  ganjaran semestinya.”
Minangsa menjawab dengan sedikit merah mukanya, “Kalau saya disuruh menghamba, tak akan saya lakukan, karena Wreka jenis Sudra dan saya Waisya. Sungguh saya lebih mulia.”
 
Sang Margana diam sejenak, kemudian berkata, “Hai Minangsa, apa kamu mau saya ajari untuk menjawab perkataan Wreka yang kemarin itu?” Minangsa menyanggupi. Sang Margana lalu menyuruh Minangsa agar menjawab, “Apakah setiap yang mengabdi dengan sungguh-sungguh benar-benar akan menerima imbalan?” Minangsa hatinya sangat gembira dan bersegera hendak menemui Wreka. Sang Margana lalu meneruskan perjalanannya.
 
Setelah Minangsa bertemu dengan Wreka, segera ia menyampaikan jawaban seperti yang diajarkan Sang Margana. Wreka tertawa, karena sudah tahu maksud tersembunyi dari ungkapan tadi, yakni bahwa agar Minangsa diberi imbalan emas  seperti yang dialami Wreka. Maka Wreka menjawab, “Makanya tidak akan menerima, karena yang datang tidak harus mengabdi, sebab asal-muasal tidak menerima apa-apa itu dari yang tidak mengabdi.”
 
Minangsa diam, karena tidak paham maksud bahasa Wreka itu. Lalu Minangsa pergi, hendak menemui Sang Margana, akan tetapi sudah tidak bisa ketemu. Setelah itu, ia datang kepada raja Kutastaka. Minangsa ditanyai awal mulanya hingga bisa demikian. Sang Kutastaka tersenyum seakan menunjukkan belas kasihan dengan Minangsa, dan bersedia menolongnya. Minangsa disuruh pulang terlebih dahulu.
Setelah ganti hati, Sang Kutastaka memangggil Wreka, lalu katanya, “Wreka, aku bertanya padamu, bersihnya segala sesuatu itu dari hal apa?” Jawab Wreka, “Bersihnya segala sesuatu itu dari kuat. Bisanya menjadi kuat karena kuasa menguasai.” Sang Kutastaka berkata lagi, “Kalau begitu, emas yang kau temukan itu, kusarankan agar kamu bersihkan supaya kamu lebih kuat  dan juga kamu menguasai penuh milikmu itu. Maksudnya, emas itu sementara bagikanlah kepada tetangga dan handai taulan yang engkau sukai!”
 
Wreka menyanggupi, lalu pulang. Setelah berada di jalan, ia melihat Minangsa membuangi kerikil. Kemudian ditanyainya. Minangsa mengatakan bahwa ia sedang mencari pusakanya berupa mustika yang hilang dari sakunya. Minangsa baru berhenti setelah menemukan kembali mustikanya, lalu disaku lagi. Akan tetapi, ia masih meneruskan membuangi kerikil dengan berkata-kata sendiri, “Kalau tidak aku buangi semua kerikil yang ada di jalan ini, dan sewaktu-waktu mustikaku jatuh lagi di sini, aku akan kesulitan mencarinya.” Wreka mendengar, dan katanya sambil tersenyum, “Nah, begitu Minangsa. Aku akan sangat senang padamu, sebab kebetulan juga akan tidak menyulitkan bagi pejalan, karena bersih segala yang mengganggu kaki.”
 
Sesudah demikian, Minangsa lalu diajak ke rumah Wreka dan diberi emas selayaknya. Minangsa menerima dengan sangat suka cita, lalu pulang. Waktu itu, tahun 33 S, bunyi sengkalannya Weda Tri Angambara, atau 34 C dengan sengkalan Toya Katon ing Gagana.