Home » , , , , , » Resiko Mengkaji Agama secara Ilmiah

Resiko Mengkaji Agama secara Ilmiah

Written By Panji Revolusi on Sunday, October 20, 2013 | 9:15 PM

Mengkaji agama secara ilmiah atau menjadikan agama sebagai obyek kajian empirik dan menelitinya sebagai realitas manusiawi, tidak hanya memerlukan usaha keras, tapi juga keberanian yang cukup. Begitulah pendapat Jaques Waardenburgh, dalam bukunya yang berjudul Classical Approach to the Study of Religion (1973: 2). Tak hanya itu, ia juga berpendapat bahwa menjadikan agama sebagai bahan kajian ilmiah cenderung sulit dilakukan, sebab kita akan mengawalinya dengan dua hal yang tak biasa dilakukan oleh masyarakat penganut agama.

Pertama, mengkaji berarti melakukan obyektivasi, atau penjarakan, terhadap obyek kajian. Dalam studi agama, obyektivitas bukan hanya kepada “pihak lain” tapi juga kepada diri pengkaji, atau peneliti. Setiap manusia akan memiliki keterlibatan dengan aspek keagamaan, dalam kontinum positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen terhadap agama tertentu sampai menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan obyektivasi terhadap kesadaran-diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan usaha, melainkan latihan dan ketekunan.

Kedua, secara tradisional, agama dipahami sebagai sesuatu yang suci, sakral, dan agung. Menempatkan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai obyek netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan, atau bahkan merusak nilai tradisional agama. Keterlibatan para pengikut agama, secara bertingkat, memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama sebagai obyek kajian selalu memiliki resiko berhadapan dengan reaksi para penganutnya, yang tidak jarang cukup fatal.

Kasus terakhir inilah yang masih sering kita jumpai akhir-akhir ini. Para akademisi yang mencoba melakukan penelitian terhadap agama sering mendapat tuduhan sebagai penganut sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Tuduhan semacam ini terkadang berujung kepada pengkafiran, sebuah stigma yang sangat menakutkan bagi para penganut agama.

Seperti yang disebutkan oleh Jaques Waardenburgh, itulah resiko sosial yang terkadang harus diterima oleh para pengkaji agama secara ilmiah. Bahkan, tuduhan-tuduhan itu tak berhenti hingga sang peneliti (akademisi) tersebut wafat. Meskipun demikian, bagi para akademisi, resiko apa pun mesti dijalani demi sebuah perspektif lain atas pemahaman agama yang diperjuangkan sebagai ijtihad.

Dalam kasus seperti ini, secara pribadi, aku mengenal beberapa akademisi, yang hingga saat ini masih mendapat stigma seperti di atas. Anehnya, orang-orang ini tidak memiliki kebencian sedikitpun terhadap orang-orang yang menuduhnya kafir. Mereka justru menganggap bahwa para penuduh itu memiliki perspektif lain tentang agama, sebagai salah satu bahan penelitiannya. Sikap seperti ini ternyata dibarengi dengan beberapa sikap ketekunan beribadah yang kemungkinan belum tentu dilakukan oleh para penuduh itu.

Tulisan ini tidak bermaksud membela para akademisi. Sebab, secara pribadi, penelitian atau temuan mereka terhadap agama tidak selalu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya. Hanya saja, saya merasa perlu mengapresiasi sikap legawanya, dibandingkan para pemberang yang bertujuan menguasai lahan pragmatis di dunia ekonomi dan politik, melalui jalur ketenaran yang dibuat dengan cara “asal berbeda dengan pemahaman umat”.