Home » , , , , , , , » Plasenta Menggeser Embrio

Plasenta Menggeser Embrio

Written By Panji Revolusi on Friday, November 23, 2012 | 8:43 PM

Terapi sel induk tali pusar tak kalah dari terapi sel induk embrio. Mengobati penyakit jantung, diabetes, lupus, alzheimer, dan parkinson.

PLASENTA atawa ari-ari punya beragam manfaat. Bukan saja dipakai sebagai bahan dasar kosmetik, tali pusar ini juga bisa menjadi bahan dasar pengobatan berbagai penyakit berat. Fungsinya diperkirakan dapat menggantikan terapi sel induk embrio, yang selama ini dikenal paling ampuh tetapi secara etika masih diperdebatkan.

Adalah Stephen C. Strom yang melontarkan topik itu. Pakar biomedis dari Pittsburg University School of Medicine ini memublikasikan kajian lembaganya lewat jurnal Stem Cells, Agustus lalu. Di situ ia menulis, bagian dari ari-ari yang dinamai amnion mengandung sel-sel yang memiliki karakteristik serupa sel induk embrio alias embrionic stem cells.

Tak cuma itu. Bagian selaput luar ari-ari itu juga memperlihatkan dua sifat yang memberi sel induk embrio kemampuan berkembang menjadi sel-sel khusus. Malah kajian itu menyebutkan, sel-sel jaringan amniotik ini bisa diarahkan untuk membentuk sel-sel liver, pankreas, jantung, dan saraf dengan penambahan faktor-faktor pertumbuhan tertentu.

"Bila sanggup mengembangkan metode yang efisien sehingga sel-sel turunan amnion terbagi menjadi tipe-tipe sel khusus, kita punya sumber sel yang amat berguna untuk terapi cangkok dan regeneratif," ujar Strom, yang juga menjadi peneliti di McGowan Institute for Regenerative Medicine, seperti dikutip The Stem Cell Research Foundation.

Sebelum Strom, awal tahun lalu penelitian tim yang dipimpin Dr. Stuart Orkin mengumumkan kemungkinan "kesaktian plasenta". Hasil riset tim gabungan Rumah Sakit Anak-anak Boston dan Dana-Farber Cancer Institute itu menemukan bahwa sistem pembentukan darah tak hanya di embrio, melainkan juga di plasenta. "Dengan penemuan ini, mesti ada sesuatu yang unik pada ari-ari itu. Bila kami menemukan apa itu, kami bisa menemukan bagaimana mengembangkan sel induk darah dalam jumlah besar," katanya kala itu.

Apabila kajian ini berhasil, dunia medis pun memiliki pilihan lain di luar cangkok sel induk embrio untuk pengobatan. Sebab, selama ini, penerapan terapi sel induk embrio masih jadi bahan perdebatan. Para pakar yang mendukung yakin tidak ada masalah dengan penerapan terapi ini. Mereka bilang, yang penting cara ini memberi harapan baru kepada para pasien yang mengalami sakit berat, seperti kanker.

Sebagian pakar menegaskan, terapi itu tidak perlu karena menimbulkan masalah etis. Semua embrio manusia, baik yang terbentuk alami maupun lewat laboratorium, berpotensi menjadi janin manusia utuh. Secara moral, eksperimen terhadap bakal janin ini salah.

Belakangan, keberatan para "pakar etis" itu ditepis oleh Robert Lanza, Kepala Peneliti Advanced Cell Technology yang bermarkas di Massachusetts. Ia menegaskan, teknik baru yang kini dikembangkan memungkinkan para ilmuwan membuat bank sel induk pribadi anak sebelum mereka lahir yang amat bermanfaat untuk pengobatannya kelak setelah lahir dan besar.

"Keberatan terhadap penelitian sel induk embrio selama ini karena cikal bakal janin itu dinilai berpotensi menjadi janin manusia. Kami sudah memperlihatkan dengan sebuah metode, sel induk embrio bisa dihasilkan tanpa mengganggu potensi perkembangan embrio itu sendiri," katanya, seperti dikutip BBCNews. Ia mengaku, itu merupakan hasil riset mutakhir yang dilakukan lembaganya terhadap mencit.

Pakar-pakar terapi sel induk embrio makin yakin dengan langkahnya. Tengok saja yang dilakukan Dr. Woo Suk-hwang, pelopor pengembangan sel induk kepada pasien perorangan. Awal November lalu, pakar Korea Selatan ini membuka pendaftaran sukarelawan yang bersedia mengambil bagian dalam riset sel induk yang dilakukannya di Pusat Riset Sel Induk Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul.

Suk-hwang tetap berkukuh pada pendiriannya untuk mengembangkan penelitian sel induk embrio. Pada Februari 2004, ia dikecam karena keberhasilannya membuat galur sel induk pertama hasil kloning sel manusia. Pada Mei silam, ia bersama timnya bekerja sama dengan pakar dari Pittsburg pun berhasil membentuk kumpulan sel induk embrio dari sembilan pasiennya yang mengidap penyakit berbeda.

Pada hari pertama pendaftaran, tak kurang dari 3.500 warga Korea mendaftarkan diri sebagai peserta penelitian Suk-hwang. Riset yang dilakukannya mendapat dukungan karena pemerintah di Seoul memang tidak melarang pengembangan riset kloning sel manusia. "Kini, kami hanya menerima pendaftaran peserta. Ini tidak berarti terapinya segera dilakukan," ujar Kang Sung-keun, pakar yang ikut dalam riset Suk-hwang.

Toh, para "dewa etika" tetap menentang riset seperti itu. Josephine Quintavalle dari Lembaga Etika Reproduksi di London menegaskan, hingga kini belum ada bukti bahwa pengambilan sel induk itu tidak menyebabkan kerusakan. "Caranya tetap saja mengganggu proses alami. Menurut saya, jauh lebih baik bila para ilmuwan beralih ke wilayah riset sel induk lainnya, seperti sel induk amnion," katanya.

Pesan Quintavalle telah ditunaikan setidaknya oleh Profesor Strom. Dan, yang dilakukan sang profesor merupakan perkembangan mutakhir riset sel induk ari-ari. Jauh sebelum dia, banyak pula pakar yang mencoba mengembangan sel induk darah tali pusar itu. Penelitian ini dimulai pada 1970-an.

Kala itu, para ilmuwan menemukan tanda-tanda bahwa darah tali pusar manusia mengandung sel induk serupa dengan yang ada dalam sumsum tulang. Seperti juga sel induk sumsum tulang, mereka yakin, sel induk darah plasenta ini bisa dipakai untuk mengobati beragam penyakit kelainan darah yang mematikan, seperti leukemia atawa kanker darah. Sel induk sumsum tulang sendiri memang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan leukemia dan gangguan sistem kekebalan tubuh dalam 1970-an.

Setelah bertahun-tahun meneliti, tim dokter Prancis untuk pertama kalinya melakukan pencangkokan sel induk darah plasenta pada 1988. Mereka menerapkan terapi ini pada seorang bocah laki-laki usia lima tahun yang menderita anemia Fanconi. Bocah itu mengalami penurunan produksi semua sel darah karena penyakit di sumsum tulang belakang. Para dokter kemudian menyuntikkan sel induk darah tali pusar milik adik bocah itu yang baru lahir. Terapi ini terbukti manjur. Bocah tadi terbebas dari penyakitnya.

Bukan itu saja. Darah plasenta ternyata juga mengandung sel induk yang lebih unggul dibandingkan dengan sel induk sumsum bagi pasien tertentu. Terlebih lagi, risiko dalam pengambilannya lebih ringan dibandingkan dengan pengambilan sel induk sumsum tulang (lihat tabel). Sampai saat ini, terapi sel induk tali pusar dilaporkan dapat mengatasi dua penyakit darah lainnya: leukemia dan autoimun.

Dalam hal proses pun, terapi sel induk darah tali pusar jauh lebih sederhana dibandingkan dengan terapi sel induk sumsum tulang. Sel induk darah tali pusar relatif lebih mudah didapat. Sementara, untuk mendapatkan sel induk sumsum tulang dibutuhkan waktu, karena pasien harus menemukan dulu donor yang cocok.

Padahal, pengalaman para ahli membuktikan, hanya 25%-30% pasien terapi sel induk sumsum tulang yang mendapatkan donor yang cocok dari keluarga sendiri. Bila donor berasal dari orang lain yang tak ada hubungan darah, kemungkinan itu jauh lebih kecil lagi, yakni satu dari 20.000 orang.

Di luar terapi sel induk sumsum tulang dan darah tali pusar, para pakar juga sudah menerapkan terapi sel induk darah tepi. Transplantasi sel induk darah tepi ini pertama kali dilakukan pada 1986. Namun sel yang didapatkan dari donor biasanya tidak setahan sel yang berasal dari sumsum tulang. Pencangkokan model ini pun tetap memerlukan dukungan sel induk sumsum tulang.

Sampai saat ini, total ketiga terapi itu diklaim bisa mengobati tak kurang dari 72 jenis penyakit. Termasuk penyakit-penyakit berat seperti kanker darah dan anemia tadi. Malah, seperti keyakinan Profesor Strom, terapi ini kelak bisa mengobati penyakit jantung, diabetes, lupus, alzheimer, dan parkinson.

Erwin Y. Salim