Siang ini, tanpa sengaja, aku mendengar pembicaraan ibu-ibu di dekat rumah. Mereka sedang asyik membicarakan pendidikan anak. Dari beberapa wajah, aku melihatkan kekhawatiran saat membincangkan salah seorang anak lelaki kelas satu Sekolah Dasar yang belum bisa membaca apalagi menulis. Sebut saja namanya Budi.
Orang tua Budi, terutama ibunya, sangat mengkhawatirkan keterlambatan Budi dalam sekolah ini. Sebab, saat ini, ukuran anak kelas satu Sekolah Dasar seharusnya sudah bisa membaca, bahkan menulis, meskipun hanya beberapa kata. Hal ini juga diberlakukan di beberapa Sekolah Dasar. Budi termasuk beruntung, sebab waktu mendaftar di sekolahnya pada ajaran baru kemarin, sekolahnya tidak melakukan tes kepada calon siswa. Penerimaan siswa baru hanya didasarkan pada usia anak (calon siswa). Pada saat mendaftar, umur Budi lebih dari tujuh tahu. Bahkan, beberapa calon siswa terpaksa mendaftar ke sekolah lain, karena usianya belum memenuhi kriteria dari sekolah.
Melihat keterlambatan Budi, ibunya terpaksa mendaftarkan LES tambahan, agar bisa membaca dan menulis. Sudah sebulan ini, Budi mengikuti LES tambahan tersebut. Akan tetapi, Budi memang memiliki hobi bermain, sehingga sangat malas jika diminta mengikuti LES. Tak tanggung-tanggung, hampir setiap hari Budi bermain keluar desa, bahkan kecamatan. Untuk ukuran usianya, dia termasuk lelaki kecil yang pemberani, sebab sudah berani bermain sendiri keluar kecamatan. Tetapi, sesungguhnya, keberanian tersebut dimiliki oleh rata-rata anak seusianya. Hanya saja, tidak semua orang tua mengizinkan anaknya bermain terlalu jauh, hingga keluar kecamatan.
Menghadapi ulah Budi ini, orang tuanya, terutama ibunya sangat jengkel. Beberapa kali ibunya mengungkapkan kejengkelannya kepada ibu-ibu tetangga. Tak ayal, ibu-ibu pun langsung menceritakan pengalamannya masing-masing. Ada yang merasa memiliki pengalaman serupa dengan ibunya Budi. Ada pula yang mengaku bahwa untuk mengantisipasi hal tersebut, dahulu anaknya di ikutkan LES pada saat masih duduk di Taman Kanak-Kanak, selama dua tahun.
Mendengar cerita-cerita tersebut, aku berkesimpulan bahwa anak-anak di sekitar rumahku sepertinya kurang diperhatikan oleh orang tuanya. Mereka lebih banyak bermain sendiri atau diikutkan LES sejak dini demi kemampuan belajar di sekolah. Maklum saja, hampir kebanyakan, orang tua mereka bekerja, baik ayah maupun ibunya. Dan, sepertinya masalah ini sudah lazim di Indonesia. Untuk itu, sekarang banyak menjamur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang lebih banyak menjelma menjadi tempat penitipan anak dengan biaya yang sangat mahal. Beruntung jika orang tua anak-anak itu mampu menyekolahkan di PAUD. Jika orang tua mereka memiliki pendapatan yang minim (miskin), tentu saja mereka semakin tidak terurus.
LES untuk anak-anak sesungguhnya bukan sesuatu yang buruk, apalagi jika dilakukan dengan mengasyikkan. Akan tetapi, sesungguhnya, yang diperlukan anak-anak adalah kepedulian orang tua, dekat dan berkomunikasi secara intensif dengan orang tua. Lalu, bagaimana mungkin dalam kondisi ekonomi yang serba sulit orang tua meninggalkan pekerjaan? Hal semacam ini sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah atau negara. Di sinilah letak integralisme ekonomi, politik, pendidikan, dan bahkan psikologi perkembangan anak. Wallahu a’lam.
Orang tua Budi, terutama ibunya, sangat mengkhawatirkan keterlambatan Budi dalam sekolah ini. Sebab, saat ini, ukuran anak kelas satu Sekolah Dasar seharusnya sudah bisa membaca, bahkan menulis, meskipun hanya beberapa kata. Hal ini juga diberlakukan di beberapa Sekolah Dasar. Budi termasuk beruntung, sebab waktu mendaftar di sekolahnya pada ajaran baru kemarin, sekolahnya tidak melakukan tes kepada calon siswa. Penerimaan siswa baru hanya didasarkan pada usia anak (calon siswa). Pada saat mendaftar, umur Budi lebih dari tujuh tahu. Bahkan, beberapa calon siswa terpaksa mendaftar ke sekolah lain, karena usianya belum memenuhi kriteria dari sekolah.
Melihat keterlambatan Budi, ibunya terpaksa mendaftarkan LES tambahan, agar bisa membaca dan menulis. Sudah sebulan ini, Budi mengikuti LES tambahan tersebut. Akan tetapi, Budi memang memiliki hobi bermain, sehingga sangat malas jika diminta mengikuti LES. Tak tanggung-tanggung, hampir setiap hari Budi bermain keluar desa, bahkan kecamatan. Untuk ukuran usianya, dia termasuk lelaki kecil yang pemberani, sebab sudah berani bermain sendiri keluar kecamatan. Tetapi, sesungguhnya, keberanian tersebut dimiliki oleh rata-rata anak seusianya. Hanya saja, tidak semua orang tua mengizinkan anaknya bermain terlalu jauh, hingga keluar kecamatan.
Menghadapi ulah Budi ini, orang tuanya, terutama ibunya sangat jengkel. Beberapa kali ibunya mengungkapkan kejengkelannya kepada ibu-ibu tetangga. Tak ayal, ibu-ibu pun langsung menceritakan pengalamannya masing-masing. Ada yang merasa memiliki pengalaman serupa dengan ibunya Budi. Ada pula yang mengaku bahwa untuk mengantisipasi hal tersebut, dahulu anaknya di ikutkan LES pada saat masih duduk di Taman Kanak-Kanak, selama dua tahun.
Mendengar cerita-cerita tersebut, aku berkesimpulan bahwa anak-anak di sekitar rumahku sepertinya kurang diperhatikan oleh orang tuanya. Mereka lebih banyak bermain sendiri atau diikutkan LES sejak dini demi kemampuan belajar di sekolah. Maklum saja, hampir kebanyakan, orang tua mereka bekerja, baik ayah maupun ibunya. Dan, sepertinya masalah ini sudah lazim di Indonesia. Untuk itu, sekarang banyak menjamur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang lebih banyak menjelma menjadi tempat penitipan anak dengan biaya yang sangat mahal. Beruntung jika orang tua anak-anak itu mampu menyekolahkan di PAUD. Jika orang tua mereka memiliki pendapatan yang minim (miskin), tentu saja mereka semakin tidak terurus.
LES untuk anak-anak sesungguhnya bukan sesuatu yang buruk, apalagi jika dilakukan dengan mengasyikkan. Akan tetapi, sesungguhnya, yang diperlukan anak-anak adalah kepedulian orang tua, dekat dan berkomunikasi secara intensif dengan orang tua. Lalu, bagaimana mungkin dalam kondisi ekonomi yang serba sulit orang tua meninggalkan pekerjaan? Hal semacam ini sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah atau negara. Di sinilah letak integralisme ekonomi, politik, pendidikan, dan bahkan psikologi perkembangan anak. Wallahu a’lam.