Dia bukan anak malaikat atau bahkan anak setan yang dibuang di belakang rumah angker. Dia bukan anak yang suka bermain di depan halaman rumah atau di pematang sawah dengan jaring penangkap capung di tangan. Dia bukan anak yang suka berenang di sungai atau kolam ikan yang sedang dipanen ikannya. Dia juga bukan anak yang suka makan sayur dan buah-buahan hasil panen di kebun. Dia adalah anak Teknologi Informasi yang setiap hari dididik oleh televisi, video game, dan bahkan internet. Dialah anak keturunan “klik” yang hidup dalam ruang imajinasi media.
Begitulah anak kota zaman sekarang, bahkan banyak di antaranya anak-anak di desa yang telah hidup di bawah hegemoni media. Jangan berpikir bahwa mereka sedang bersenang-senang, bebas merdeka dengan permainannya. Tahukah Anda, sesungguhnya mereka sedang didikte oleh imaji media. Perhatikanlah tingkahlakunya, hampir semuanya mirip dengan artis-artis atau gaya-gaya pengiklan. Gaya berpakaiannya pun “seragam”, karena memang seleranya sudah terlanjur dibentuk oleh imaji media.
Jika Anda mencoba mengajaknya bicara, kalimat dan intonasi bahasanya pun tak jauh berbeda dengan para maniac televisi. Tak mungkin mereka memiliki gaya bicara seperti para demonstan atau bergaya seperti pengamen di jalanan. Mereka pun tak banyak yang peduli dengan masyarakat di sekitarnya. Mereka juga tak mengenal struktur sosial, struktur ekonomi, bahkan gerakan transformasi sosial. Mereka adalah korban zaman yang tak memiliki kesadaran atas realitas. Mereka adalah budak hedonisme.
Masih untung jika mereka masih memiliki keinginan untuk menyiapkan diri menghadapi hidup untuk menjadi karyawan, PNS, atau bahkan entrepreneur. Dan, itu pun tak banyak, sebab kebanyakan dari mereka hanya memikirkan dunianya yang penuh dengan hura-hura. Begitulah Anak Keturunan “Klik” yang tak memiliki kesadaran terhadap konstruksi realitas.
Tulisan ini adalah renungan Bang Gobel. Dia mengungkapkan kegelisahannya itu saat bertemu denganku dua hari yang lalu. Bang Gobel masih saja berbicara dengan bahasanya yang khas: tegas dan jujur (dari dalam hatinya). Aku tak mau mendebatnya, sebab itu adalah cara pandang yang berprinsip, dan sepertinya memiliki dasar kuat dari usahanya membaca realitas.
Begitulah anak kota zaman sekarang, bahkan banyak di antaranya anak-anak di desa yang telah hidup di bawah hegemoni media. Jangan berpikir bahwa mereka sedang bersenang-senang, bebas merdeka dengan permainannya. Tahukah Anda, sesungguhnya mereka sedang didikte oleh imaji media. Perhatikanlah tingkahlakunya, hampir semuanya mirip dengan artis-artis atau gaya-gaya pengiklan. Gaya berpakaiannya pun “seragam”, karena memang seleranya sudah terlanjur dibentuk oleh imaji media.
Jika Anda mencoba mengajaknya bicara, kalimat dan intonasi bahasanya pun tak jauh berbeda dengan para maniac televisi. Tak mungkin mereka memiliki gaya bicara seperti para demonstan atau bergaya seperti pengamen di jalanan. Mereka pun tak banyak yang peduli dengan masyarakat di sekitarnya. Mereka juga tak mengenal struktur sosial, struktur ekonomi, bahkan gerakan transformasi sosial. Mereka adalah korban zaman yang tak memiliki kesadaran atas realitas. Mereka adalah budak hedonisme.
Masih untung jika mereka masih memiliki keinginan untuk menyiapkan diri menghadapi hidup untuk menjadi karyawan, PNS, atau bahkan entrepreneur. Dan, itu pun tak banyak, sebab kebanyakan dari mereka hanya memikirkan dunianya yang penuh dengan hura-hura. Begitulah Anak Keturunan “Klik” yang tak memiliki kesadaran terhadap konstruksi realitas.
Tulisan ini adalah renungan Bang Gobel. Dia mengungkapkan kegelisahannya itu saat bertemu denganku dua hari yang lalu. Bang Gobel masih saja berbicara dengan bahasanya yang khas: tegas dan jujur (dari dalam hatinya). Aku tak mau mendebatnya, sebab itu adalah cara pandang yang berprinsip, dan sepertinya memiliki dasar kuat dari usahanya membaca realitas.