Bagi Anda yang suka film Barat tentu pernah mendengar, bahkan menonton The Siege dan Rule of Engagement. Film pertama dibintangi oleh Danzel Washington dan Bruce Willis, mengisahkan peruangan FBI dalam menangkap pelaku bom yang menewaskan sekitar ratusan penduduk sipil di Amerika. Sedangkan film kedua, yang dibintangi actor ternama Tomy Lee Jones dan Samuel L. Jackson, menceritakan lika-liku pengadilan militer Amerika terkait kasus serangan pertahanan tentara AS terhadap demonstran sipil di Yaman. Keduanya memiliki ending yang sama, yaitu heroisme Amerika.
Kedua film ini beredar bebas di Indonesia, baik dalam bentuk VCD maupun ditayangkan sebagai tontonan publik di bioskop-bioskop. Akan tetapi, di Negara-negara Timur Tengah dan Islam yang ketat, kedua film tersebut dilarang beredar dalam bentuk apa pun, karena muatannya penuh distorsi, dan dikhawatirkan meracuni pemahaman khalayak tentang Islam sebagai agama.
Dalam kedua film ini, baik The Siege maupun Rule of Engagement, tampak jelas mengesankan kepada publik bahwa Islam identik dengan kekerasan, Islam adalah momok dan hantu yang meresahkan, kaum muslim adalah teroris dan pelaku kekerasan atas nama agama. Di dalam Rule of Engagement, para demonstran sipil di Yaman digambarkan sebagai masyarakat yang brutal bersenjata dan berusaha menyerang kedutaan besar AS di Yaman. Mereka adalah massa muslim militant yang dikomando seorang syekh (ulama).
The Siege menggambarkan seorang teroris Arab-Muslim yang memiliki kepribadian aneh dan paradox. Aneh dan rancu, karena si muslim yang taat ternyata digambarkan memiliki sisi lain, yaitu suka bermain dengan pelacur. Bahkan, dalam adegan akhir, si Arab-Muslim diperlihatkan baru saja berkencan dengan pelacur seraya masih bertelanjang bulat, setelah itu berwudhu, mengucap dua kalimat syahadat (doa setelah wudhu), kemudian menyongsong berondongan peluru para agen FBI dengan sangat gagah berani.
Dua film ini adalah contoh di antara sekian bukti yang mengasumsikan bahwa media Barat sering memberikan muatan produknya dengan pemahaman dan anggapan mereka tentang dunia Islam yang tak selamanya benar. Film di Barat pun tak hanya sekadar media budaya, tetapi juga menjadi alat propaganda kepentingan dan pembawa misi tak senonoh.
Untuk itu, kita perlu mengingat pesan Jurgen Habermas yang menyatakan bahwa penekanan atas kepentingan adalah kepentingan itu sendiri. Artinya, tak akan pernah ada kebenaran yang obyektif di dunia ini. Adanya adalah kebenaran intensional, yaitu bahwa apa pun yang dianggap sebagai kebenaran itu pasti selalu memuat kepentingan, tak ada kebenaran yang bebas nilai.
Kedua film ini beredar bebas di Indonesia, baik dalam bentuk VCD maupun ditayangkan sebagai tontonan publik di bioskop-bioskop. Akan tetapi, di Negara-negara Timur Tengah dan Islam yang ketat, kedua film tersebut dilarang beredar dalam bentuk apa pun, karena muatannya penuh distorsi, dan dikhawatirkan meracuni pemahaman khalayak tentang Islam sebagai agama.
Dalam kedua film ini, baik The Siege maupun Rule of Engagement, tampak jelas mengesankan kepada publik bahwa Islam identik dengan kekerasan, Islam adalah momok dan hantu yang meresahkan, kaum muslim adalah teroris dan pelaku kekerasan atas nama agama. Di dalam Rule of Engagement, para demonstran sipil di Yaman digambarkan sebagai masyarakat yang brutal bersenjata dan berusaha menyerang kedutaan besar AS di Yaman. Mereka adalah massa muslim militant yang dikomando seorang syekh (ulama).
The Siege menggambarkan seorang teroris Arab-Muslim yang memiliki kepribadian aneh dan paradox. Aneh dan rancu, karena si muslim yang taat ternyata digambarkan memiliki sisi lain, yaitu suka bermain dengan pelacur. Bahkan, dalam adegan akhir, si Arab-Muslim diperlihatkan baru saja berkencan dengan pelacur seraya masih bertelanjang bulat, setelah itu berwudhu, mengucap dua kalimat syahadat (doa setelah wudhu), kemudian menyongsong berondongan peluru para agen FBI dengan sangat gagah berani.
Dua film ini adalah contoh di antara sekian bukti yang mengasumsikan bahwa media Barat sering memberikan muatan produknya dengan pemahaman dan anggapan mereka tentang dunia Islam yang tak selamanya benar. Film di Barat pun tak hanya sekadar media budaya, tetapi juga menjadi alat propaganda kepentingan dan pembawa misi tak senonoh.
Untuk itu, kita perlu mengingat pesan Jurgen Habermas yang menyatakan bahwa penekanan atas kepentingan adalah kepentingan itu sendiri. Artinya, tak akan pernah ada kebenaran yang obyektif di dunia ini. Adanya adalah kebenaran intensional, yaitu bahwa apa pun yang dianggap sebagai kebenaran itu pasti selalu memuat kepentingan, tak ada kebenaran yang bebas nilai.