Seharusnya, sikap “terbiasa” ini menjadi tamparan bagi kita. Bagaimana tidak, “agama”, sesuatu yang seharusnya membawa kebaikan bagi manusia justru menjadi sumber pertikaian. Bukan pada agamanya yang salah, tetapi lebih kepada masing-masing penganutnya yang sering memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi mereka. Suatu ketika, Gusti ‘Isa Almasih pernah menegur orang Yahudi soal hakekat dari hukum Tuhan:
Markus 2:27 “Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat,
Segala aturan yang diberikan Tuhan, bertujuan untuk membawa kebaikan bagi manusia. Namun yang sering terjadi, agama justru semakin “membebani” pemeluknya. Agama yang sejatinya membawa pesan pembebasan, kini justru membawa belenggu-belenggu baru. Karena itu, umat beragama harus mulai berpikir kritis dan cerdas. Tujuannya pasti, agar tidak mudah dibodohi dan diadu domba oleh pihak-pihak lain, yang ingin memancing di air keruh. Terutama dalam konteks hubungan agama-agama di Indonesia.
Selain isu-isu politik yang dihembuskan oleh sebagian pihak untuk mengadu domba umat beragama, ada juga isu-isu teologis yang ikut dimainkan. Dalam konteks hubungan Islam-Kristen di Indonesia, cukup banyak isu-isu teologis yang turut memperkeruh hubungan keduanya. Mulai dari terbitnya buku-buku polemik kedua belah pihak yang turut memperkeruh hubungan ini, sampai pada debat-debat tidak mencerdaskan yang diadakan oleh kelompok-kelompok polemikus. Namun pada sisi lain, juga terdapat kemajuan yang cukup membesarkan hati dalam hubungan Islam-Kristen. Hal ini tampak dengan digagasnya macam-macam dialog teologis antara keduanya.