Setiap bangsa di dunia pada seluruh era sejarah praperadaban dan moderan beradab, terus menghadapi problem konflik dan kekerasan yang memakai simbol keagamaan. Penempatan Tuhan dalam setiap agama sebagai kemultakan, sumber kebenaran abadi yang sekaligus maha gaib dan maha kuasa, membuat setiap orang bisa bertindak atas nama-Nya bagi kekuasaan untuk dirinya sendiri. Keagamaan berubah menjadi serba mutlak dan benar tanpa tandingan, serupa itu pula kekuasaan atas nama-Nya seperti diri Tuhan sendiri yang diyakini pemeluk setiap agama.
Sejarah politik, terutama di negeri-negeri berkembang dipenuhi konflik dan kekerasan yang memperoleh pembenaran keagamaan. Namun sebaliknya, dinamika keagamaan penuh konspirasi politik dari mereka yang menyatakan membela agama dan Tuhan yang diyakininya. Kekuasaan politik yang memperoleh legitimasi keagamaan, sebaliknya keagamaan yang memperoleh perlindungan politik menjadi keagamaan dan kekuasaan eksklusif yang penuh kekerasan. Tuhan dan agama-Nya dipahami secara eksklusif dengan menegasikan semua tafsir lainnya.
Keagamaan berubah jauh dari kemanusiaan, karena Tuhan dipahami sebagai ekstrim negatif kemanusiaan. Aksi-aksi kemanusiaan atas nama agama dan atau Tuhan, terperangkap dalam aksi sepihak hanya bagi yang sepaham dan seagama, bagi golongannya sendiri. Tuhan dan agama-Nya sengaja atau kurang disadari mengalami reduksi, sehingga Tuhan dan agama-Nya hanyalah sepanjang visi eksklusif golongan ini. Di saat semua golongan keagamaan bersikap serupa itu, praktek keagamaan cenderung berubah menjadi aksi penindasan dan kekerasan itu sendiri.
Aksi kemanusiaan lebih banyak ditemui pada era kenabian setiap agama. Pada pasca kenabian, keagamaan cenderung berubah menjadi alat pembenar elite penguasa yang berkolaborasi dengan elite keagamaan. Doktrin keagamaan pada masa ini dibuat berdasar visi elite penguasa, sehingga praktek politik kaum agamawan berubah menjadi aksi sepihak menindas semua paham yang berbeda dari keagamaan penguasa.
Melalui doktrin keagamaan yang diproduksi elite agama itu rezim penguasa melestarikan kekuasaannya yang dilembagakan dalam praktek pendidikan dan dakwah keagamaan. Ironisnya, pesan kemanusiaan dalam setiap risalah kenabian hanya dipahami melalui doktrin keagamaan yang mentradisi tersebut. Intelektual agama meletakkan tradisi ini sebagai referensi tunggal yang tak boleh dipertanyakan.
Konflik dan kekerasan yang memakai simbol keagamaan muncul di dalam sejarah setiap agama, terutama pada era pasca kenabian. Risalah kenabian itu sendiri seringkali dibaca sebagai risalah perang melawan kebatilan, kejahilan, dan kekafiran, bukan mengubahnya. Kosa kata qital dan jihad yang dipahami sebagai perang fisik, lebih populer dan familiar di dalam kesadaran umat muslim daripada kata dakwah. Kosa kata ini pun tak jarang dipahami sebagai perlawanan pada orang yang beragama dan atau berpaham lain walaupun seagama.
Pernyataan bahwa “seseorang halal darahnya” mudah didengar pada masa akhir-akhir ini. Suatu tindakan heroik bahkan mungkin jihad ketika merusak dan menghancurkan bangunan milik organisasi atau agama lain. Harta dan milik orang berpaham berbeda dipandang halal, boleh dirusak, dihancurkan dan dirampas. Keagamaan pun berubah menakutkan sebagai ancaman bagi pihak-pihak lain.
Antroposentrisme cenderung ditolak diletakkan pada posisi lawan teosentrisme. Kemanusiaan dipandang sebagai lawan ketuhanan. Ajaran aqidah dilihat sebagai inti ajaran, pernyataan iman atau syahahat negasi sikap kritis. Iman berarti mematikan pikiran dengan ketundukan patuh sepenuhnya hanya kepada apa yang oleh ulama disebut Tuhan. Kesalehan diartikan penempatan seluruh hidup hanya bagi Tuhan yang dilawankan dengan kemanusiaan. Kesalehan berubah menjadi ritus pengorbanan dari seluruh dunia dan kemanusiaan bagi apa yang dikenal sebagai Allah.
Orang pun ragu kemungkinan tumbuhnya pola keberagamaan santun yang peduli pada si miskin, yang menderita dan yang dihantui ketakutan hanya karena berbeda paham keagamaan. Kekerasan menjadi identik dengan kesalehan dan ritus-ritus dilakukan hanya bagi peneguhan tindak kekerasan. Ritus-ritus menjadi upacara pengorbanan semua orang yang berpaham lain bagi Tuhan-nya sendiri.
Kekerasan keagamaan menjadi variabel kesalehan bukan hanya bagi orang lain, bahkan bagi diri sendiri. Inilah tingkat keagamaan magis pada sistem tribal yang memanipulasi Tuhan bagi kepentingan sepihak. Pada fase ini, kegiatan ibadah dan ritus atau kesalehan, tidak dilakukan untuk memenuhi kewajiban, tetapi lebih sebagai usaha membujuk Tuhan agar berkenan memenuhi kepentingannya sendiri. Jika ritus-ritus kesalehan bisa diarahkan pada keikhlasan hanya bagi kemanusiaan tanpa pamrih apa pun, keagamaan akan bisa menjadi pencerah peradaban.
Gejala magis tidak hanya sebagai produk ketradisionalan, tapi juga kemodernan. Hal ini disebabkan agama hanya dilihat pada wilayah ilahiah transendental yang bebas dari keseharian kemanusiaan, tidak seperti keagamaan otentik para nabi. Dalam kemagisan, teks suci ditafsir bagi kepentingan elite yang dipandang tunggal, abadi, benar mutlak seperti kemutlakan Tuhan. Karena itu, kemultimaknaan teks suci memunculkan pertentangan tafsir seperti nampak dalam problem ikhtiar bebas dan takdir, dosa besar dan aturan fikih dalam sejarah pemikiran Islam.
Gejala di atas menyebabkan agama berubah menjadi sebuah teologi ideologis tertutup, bukan sebagai pencerah kemanusiaan. Teks-teks suci berubah menjadi teks mati, ajaran agama menjadi tradisi mati dan gagal berbicara pada manusia dalam visinya yang otentik. Muncul tuhan-tuhan kecil sebagai pembenar pendapat dan pembela kepentingan tiap golongan keagamaan. Tuhan-tuhan kecil tampil di saat konflik dan kekerasan yang cenderung menghalalkan semua cara merampas kebebasan hingga semua orang tunduk hanya pada elite atas nama tuhan-tuhan kecil tersebut.
Keagamaan bisa bebas kekerasan jika bisa dikembangkan kesalehan otentik bagi kesejahteraan semua orang, muslim, non-muslim, dan kafir. Kisah-kisah kemanusiaan nampak dari risalah nabi semua agama. Namun, konflik dan kisah peperangan yang muncul pada masa kenabian ini tetap menampakkan visi kemanusiaan universal.
Karena itu, pengikut semua agama harus membebaskan diri dari tradisi mati keagamaannya dengan membaca kembali teks-teks suci itu secara otentik. Semua praktek keagamaan harus bisa melakukan peran profetik universalnya kembali. Kesalehan keagamaan semua agama tidak hanya diukur dari ritus-ritus ilahiah, tetapi sekaligus kemampuannya membebaskan manusia dari penderitaan dan ancaman kekerasan.
Karena itu, penting mengukur kesalehan dan takwa dari ketulusan seorang pemeluk agama membela yang tertindas dan lapar. Persyaratan masuk surga bukan hanya dilihat dari ritual standar, tapi dari komitmen kemanusiaan. Kunci surga ialah keikhlasan ketulusan membela proletar sebagai bukti memenuhi ajaran. Sayang, Tuhan pun sering dimanipulasi bagi kepentingan sendiri. Inilah model keagamaan magis dari masyarakat tribal. Hanya dalam masyarakat berkeadaban Tuhan lebih manusiawi.
Agama di masa depan harus berfungsi pembebas ketertindasan, perlakuan tak adil dan kemiskinan sebagai basis kehidupan yang lebih makmur, berkeadilan, dan demokratis. Penfasiran teks suci dari semua agama penting dilakukan bagi kemanusiaan yang seharusnya menjadi agenda kaum intelektual keagamaan. Kitab suci Alquran dan Sunnah harus dihidupkan kembali dan bisa dibaca pada teks aslinya, bukan dibiarkan sebagai teks mati yang hanya bisa dipahami menurut versi ulama klasik yang jauh dari problem kemanusiaan pada era kontemporer.
Hanya melalui penafsiran ulang secara kritis demikian itulah Islam dan agama-agama bisa mulai menawarkan kembali harapan kemanusiaan. Islam dan agama-agama besar dunia harus bisa memainkan kembali peran kenabiannya bagi aksi kemanusiaan dalam peradaban dunia yang makin global. Atau, keagamaan dari agama apa pun tak lebih dari praktek penindasan kemanusian dan praktek ketidakadilan yang tak lagi menarik untuk disimak dan diikuti.
Sejarah politik, terutama di negeri-negeri berkembang dipenuhi konflik dan kekerasan yang memperoleh pembenaran keagamaan. Namun sebaliknya, dinamika keagamaan penuh konspirasi politik dari mereka yang menyatakan membela agama dan Tuhan yang diyakininya. Kekuasaan politik yang memperoleh legitimasi keagamaan, sebaliknya keagamaan yang memperoleh perlindungan politik menjadi keagamaan dan kekuasaan eksklusif yang penuh kekerasan. Tuhan dan agama-Nya dipahami secara eksklusif dengan menegasikan semua tafsir lainnya.
Keagamaan berubah jauh dari kemanusiaan, karena Tuhan dipahami sebagai ekstrim negatif kemanusiaan. Aksi-aksi kemanusiaan atas nama agama dan atau Tuhan, terperangkap dalam aksi sepihak hanya bagi yang sepaham dan seagama, bagi golongannya sendiri. Tuhan dan agama-Nya sengaja atau kurang disadari mengalami reduksi, sehingga Tuhan dan agama-Nya hanyalah sepanjang visi eksklusif golongan ini. Di saat semua golongan keagamaan bersikap serupa itu, praktek keagamaan cenderung berubah menjadi aksi penindasan dan kekerasan itu sendiri.
Aksi kemanusiaan lebih banyak ditemui pada era kenabian setiap agama. Pada pasca kenabian, keagamaan cenderung berubah menjadi alat pembenar elite penguasa yang berkolaborasi dengan elite keagamaan. Doktrin keagamaan pada masa ini dibuat berdasar visi elite penguasa, sehingga praktek politik kaum agamawan berubah menjadi aksi sepihak menindas semua paham yang berbeda dari keagamaan penguasa.
Melalui doktrin keagamaan yang diproduksi elite agama itu rezim penguasa melestarikan kekuasaannya yang dilembagakan dalam praktek pendidikan dan dakwah keagamaan. Ironisnya, pesan kemanusiaan dalam setiap risalah kenabian hanya dipahami melalui doktrin keagamaan yang mentradisi tersebut. Intelektual agama meletakkan tradisi ini sebagai referensi tunggal yang tak boleh dipertanyakan.
Konflik dan kekerasan yang memakai simbol keagamaan muncul di dalam sejarah setiap agama, terutama pada era pasca kenabian. Risalah kenabian itu sendiri seringkali dibaca sebagai risalah perang melawan kebatilan, kejahilan, dan kekafiran, bukan mengubahnya. Kosa kata qital dan jihad yang dipahami sebagai perang fisik, lebih populer dan familiar di dalam kesadaran umat muslim daripada kata dakwah. Kosa kata ini pun tak jarang dipahami sebagai perlawanan pada orang yang beragama dan atau berpaham lain walaupun seagama.
Pernyataan bahwa “seseorang halal darahnya” mudah didengar pada masa akhir-akhir ini. Suatu tindakan heroik bahkan mungkin jihad ketika merusak dan menghancurkan bangunan milik organisasi atau agama lain. Harta dan milik orang berpaham berbeda dipandang halal, boleh dirusak, dihancurkan dan dirampas. Keagamaan pun berubah menakutkan sebagai ancaman bagi pihak-pihak lain.
Antroposentrisme cenderung ditolak diletakkan pada posisi lawan teosentrisme. Kemanusiaan dipandang sebagai lawan ketuhanan. Ajaran aqidah dilihat sebagai inti ajaran, pernyataan iman atau syahahat negasi sikap kritis. Iman berarti mematikan pikiran dengan ketundukan patuh sepenuhnya hanya kepada apa yang oleh ulama disebut Tuhan. Kesalehan diartikan penempatan seluruh hidup hanya bagi Tuhan yang dilawankan dengan kemanusiaan. Kesalehan berubah menjadi ritus pengorbanan dari seluruh dunia dan kemanusiaan bagi apa yang dikenal sebagai Allah.
Orang pun ragu kemungkinan tumbuhnya pola keberagamaan santun yang peduli pada si miskin, yang menderita dan yang dihantui ketakutan hanya karena berbeda paham keagamaan. Kekerasan menjadi identik dengan kesalehan dan ritus-ritus dilakukan hanya bagi peneguhan tindak kekerasan. Ritus-ritus menjadi upacara pengorbanan semua orang yang berpaham lain bagi Tuhan-nya sendiri.
Kekerasan keagamaan menjadi variabel kesalehan bukan hanya bagi orang lain, bahkan bagi diri sendiri. Inilah tingkat keagamaan magis pada sistem tribal yang memanipulasi Tuhan bagi kepentingan sepihak. Pada fase ini, kegiatan ibadah dan ritus atau kesalehan, tidak dilakukan untuk memenuhi kewajiban, tetapi lebih sebagai usaha membujuk Tuhan agar berkenan memenuhi kepentingannya sendiri. Jika ritus-ritus kesalehan bisa diarahkan pada keikhlasan hanya bagi kemanusiaan tanpa pamrih apa pun, keagamaan akan bisa menjadi pencerah peradaban.
Gejala magis tidak hanya sebagai produk ketradisionalan, tapi juga kemodernan. Hal ini disebabkan agama hanya dilihat pada wilayah ilahiah transendental yang bebas dari keseharian kemanusiaan, tidak seperti keagamaan otentik para nabi. Dalam kemagisan, teks suci ditafsir bagi kepentingan elite yang dipandang tunggal, abadi, benar mutlak seperti kemutlakan Tuhan. Karena itu, kemultimaknaan teks suci memunculkan pertentangan tafsir seperti nampak dalam problem ikhtiar bebas dan takdir, dosa besar dan aturan fikih dalam sejarah pemikiran Islam.
Gejala di atas menyebabkan agama berubah menjadi sebuah teologi ideologis tertutup, bukan sebagai pencerah kemanusiaan. Teks-teks suci berubah menjadi teks mati, ajaran agama menjadi tradisi mati dan gagal berbicara pada manusia dalam visinya yang otentik. Muncul tuhan-tuhan kecil sebagai pembenar pendapat dan pembela kepentingan tiap golongan keagamaan. Tuhan-tuhan kecil tampil di saat konflik dan kekerasan yang cenderung menghalalkan semua cara merampas kebebasan hingga semua orang tunduk hanya pada elite atas nama tuhan-tuhan kecil tersebut.
Keagamaan bisa bebas kekerasan jika bisa dikembangkan kesalehan otentik bagi kesejahteraan semua orang, muslim, non-muslim, dan kafir. Kisah-kisah kemanusiaan nampak dari risalah nabi semua agama. Namun, konflik dan kisah peperangan yang muncul pada masa kenabian ini tetap menampakkan visi kemanusiaan universal.
Karena itu, pengikut semua agama harus membebaskan diri dari tradisi mati keagamaannya dengan membaca kembali teks-teks suci itu secara otentik. Semua praktek keagamaan harus bisa melakukan peran profetik universalnya kembali. Kesalehan keagamaan semua agama tidak hanya diukur dari ritus-ritus ilahiah, tetapi sekaligus kemampuannya membebaskan manusia dari penderitaan dan ancaman kekerasan.
Karena itu, penting mengukur kesalehan dan takwa dari ketulusan seorang pemeluk agama membela yang tertindas dan lapar. Persyaratan masuk surga bukan hanya dilihat dari ritual standar, tapi dari komitmen kemanusiaan. Kunci surga ialah keikhlasan ketulusan membela proletar sebagai bukti memenuhi ajaran. Sayang, Tuhan pun sering dimanipulasi bagi kepentingan sendiri. Inilah model keagamaan magis dari masyarakat tribal. Hanya dalam masyarakat berkeadaban Tuhan lebih manusiawi.
Agama di masa depan harus berfungsi pembebas ketertindasan, perlakuan tak adil dan kemiskinan sebagai basis kehidupan yang lebih makmur, berkeadilan, dan demokratis. Penfasiran teks suci dari semua agama penting dilakukan bagi kemanusiaan yang seharusnya menjadi agenda kaum intelektual keagamaan. Kitab suci Alquran dan Sunnah harus dihidupkan kembali dan bisa dibaca pada teks aslinya, bukan dibiarkan sebagai teks mati yang hanya bisa dipahami menurut versi ulama klasik yang jauh dari problem kemanusiaan pada era kontemporer.
Hanya melalui penafsiran ulang secara kritis demikian itulah Islam dan agama-agama bisa mulai menawarkan kembali harapan kemanusiaan. Islam dan agama-agama besar dunia harus bisa memainkan kembali peran kenabiannya bagi aksi kemanusiaan dalam peradaban dunia yang makin global. Atau, keagamaan dari agama apa pun tak lebih dari praktek penindasan kemanusian dan praktek ketidakadilan yang tak lagi menarik untuk disimak dan diikuti.