Cukup lama aku tidak memikirkan masalah politik, meskipun kadang terlintas untuk sekadar membaca berita secara online. Gimana lagi, capek melihat televisi! Pasalnya, di televisi aku hanya melihat hiburan, buang-buang uang, dan pro-kontra politik-hukum-ekonomi yang tak pernah selesai, tak berujung. Entahlah, aku juga tak tahu, apa sesungguhnya yang menyebabkan orang Indonesia, yang generasinya mampu memenangkan lomba robot internasional, olimpiade fisika, dan matematika, ternyata tak mampu menyelesaikan masalah bangsa.
Hampir setiap hari melihat berita korupsi, orang masuk penjara, pengadilan hukum tak ditegakkan, dan kemiskinan tak kunjung menurun, justru meningkat. Di mana-mana aku melihat masyarakat menghujat pemerintah dan dewan yang “terhormat”, tak hanya di kampus, di warung-warung pun begitu. Anehnya, tak ada gerakan besar yang mencoba melakukan perubahan, memprotes penguasa yang sudah dianggap tak bermoral dan biadab itu.
Bahkan, salah seorang anggota dewan telah dianggap tak punya urat malu, karena mati-matian mendukung dibangunnya gedung anggota dewan yang rencananya menghabiskan trilyunan itu. Tak sedikit yang mencaci maki anggota dewan tersebut. Mereka yang mencaci berpendapat bahwa anggota dewan tak memiliki kepedulian terhadap rakyat miskin. Di tengah kemiskinan yang semakin meluas, anggota dewan yang “terhormat” justru menghamburkan uang rakyat trilyunan. “Ini sungguh menjijikkan,” caci seorang blogger.
Melihat fenomena seperti ini, aku ingat dengan Pasal 34 UUD 1945, yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Selama ini, pasal yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan dianggap telah memberikan kekuatan bagi rakyat untuk menuntut haknya, yaitu “dipelihara” oleh negara. Tapi ternyata, rakyat tidak pernah menuntut haknya kepada negara yang dikelola oleh pemerintah. Apa sebabnya?
Untuk mencari tahu masalah ini, aku harus berpikir berulang-ulang. Setelah lelah, akhirnya aku menemukan jawaban. Ya, sepertinya rakyat tahu dan memahami betul kalimat dalam pasal 34 itu, terutama kata “DIPELIHARA”. Selama ini, sesuatu yang “DIPELIHARA” itu adalah ternak, yaitu dirawat, dibiarkan tumbuh, dan dikembangbiakkan (coba cek di KBBI inline). Dengan kalimat lain, pasal 34 itu bisa diartikan: fakir miskin dan anak terlantar itu dirawat, dibiarkan tumbuh banyak, dan kalau perlu semakin dibiakkan supaya tambah banyak. Kalimat terakhir ini, sepertinya sangat cocok dengan perilaku pemerintah pengelola negara ini.
Kalau sudah begini, kita jadi kesulitan mau menuntut pemerintah. Sebab, ternyata pasal 34 itu bisa ditafsirkan seperti itu. Dengan demikian, jika rakyat mengadu ke Mahkamah Konstitusi, rakyat akan kalah, hehehe. Pantas saja rakyat diam saja, tak mau menuntut. “Orang yang bikin Undang-Undang siapa, yang menjalankan siapa?” Mungkin begitu kata rakyat, hehehe.
Hampir setiap hari melihat berita korupsi, orang masuk penjara, pengadilan hukum tak ditegakkan, dan kemiskinan tak kunjung menurun, justru meningkat. Di mana-mana aku melihat masyarakat menghujat pemerintah dan dewan yang “terhormat”, tak hanya di kampus, di warung-warung pun begitu. Anehnya, tak ada gerakan besar yang mencoba melakukan perubahan, memprotes penguasa yang sudah dianggap tak bermoral dan biadab itu.
Bahkan, salah seorang anggota dewan telah dianggap tak punya urat malu, karena mati-matian mendukung dibangunnya gedung anggota dewan yang rencananya menghabiskan trilyunan itu. Tak sedikit yang mencaci maki anggota dewan tersebut. Mereka yang mencaci berpendapat bahwa anggota dewan tak memiliki kepedulian terhadap rakyat miskin. Di tengah kemiskinan yang semakin meluas, anggota dewan yang “terhormat” justru menghamburkan uang rakyat trilyunan. “Ini sungguh menjijikkan,” caci seorang blogger.
Melihat fenomena seperti ini, aku ingat dengan Pasal 34 UUD 1945, yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Selama ini, pasal yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan dianggap telah memberikan kekuatan bagi rakyat untuk menuntut haknya, yaitu “dipelihara” oleh negara. Tapi ternyata, rakyat tidak pernah menuntut haknya kepada negara yang dikelola oleh pemerintah. Apa sebabnya?
Untuk mencari tahu masalah ini, aku harus berpikir berulang-ulang. Setelah lelah, akhirnya aku menemukan jawaban. Ya, sepertinya rakyat tahu dan memahami betul kalimat dalam pasal 34 itu, terutama kata “DIPELIHARA”. Selama ini, sesuatu yang “DIPELIHARA” itu adalah ternak, yaitu dirawat, dibiarkan tumbuh, dan dikembangbiakkan (coba cek di KBBI inline). Dengan kalimat lain, pasal 34 itu bisa diartikan: fakir miskin dan anak terlantar itu dirawat, dibiarkan tumbuh banyak, dan kalau perlu semakin dibiakkan supaya tambah banyak. Kalimat terakhir ini, sepertinya sangat cocok dengan perilaku pemerintah pengelola negara ini.
Kalau sudah begini, kita jadi kesulitan mau menuntut pemerintah. Sebab, ternyata pasal 34 itu bisa ditafsirkan seperti itu. Dengan demikian, jika rakyat mengadu ke Mahkamah Konstitusi, rakyat akan kalah, hehehe. Pantas saja rakyat diam saja, tak mau menuntut. “Orang yang bikin Undang-Undang siapa, yang menjalankan siapa?” Mungkin begitu kata rakyat, hehehe.