Home » , , , , , » Posisi Diffable sebagai Dhu’afa dan Mustandz’afun

Posisi Diffable sebagai Dhu’afa dan Mustandz’afun

Written By Panji Revolusi on Saturday, October 19, 2013 | 7:07 PM

Pada Kamis, 8 April 2010 lalu, aku membantu teman-teman menyelenggarakan diskusi publik yang bertema Memperjuangkan Hak Kaum Difabel. Dari acara itu, aku baru tahu istilah pendidikan inklusif. Pendidikan yang menyatukan-merengkuh, yang ramah terhadap diffable, dengan cara mencampurkan-menyatukan, dan bukannya memisahkan (segregation), antara para penyandang diffable dan non-diffable. Ini adalah hal yang keterlaluan! Padahal, aku memiliki seorang sahabat dekat yang penyandang diffable. Saat ini sahabatku itu telah mandiri, berkeluarga, dan menjadi Pegawai Negeri Sipil di Jawa Timur. Inilah yang mungkin membuatku tak begitu peduli lagi dengan masalah diffable.
 
Saat kuliah dulu, di kampus, aku sering menjadi tongkatnya, sebab ia disebut “tunanetra”. Setiap kali ke perpustakaan, aku menjadi mata baginya, membacakan buku keras-keras. Teman-teman kampus selalu mencariku jika sahabatku itu datang tanpa diriku. Kami seperti sebuah tubuh yang terpisah jika kegiatan di kampus telah usai.
 
Aku tidak bermaksud menyombongkan diri dengan ceritaku ini. Aku hanya teringat kembali masa itu, yang sepertinya juga dialami oleh para mahasiswa relawan di kampusku UIN Sunan Kalijaga saat ini. Mereka adalah mahasiswa yang merelakan diri untuk saling sharing, tukar pengalaman, dan saling membantu dengan mahasiswa diffable. Bersyukrlah kita semua, karena UIN Sunan Kalijaga begitu peduli dengan penyandang diffable, bahkan berusaha mengembangkan Pusat Studi dan Layanan Diffable (PSLD). Dengan gedung barunya, UIN Sunan Kalijaga semakin ramah terhadap penyandang diffable, sebab dilengkapi dengan fasilitas yang mendukung, seperti toilet, jalur naik masjid (pengganti tangga), dan berbagai fasilitas lain, termasuk di perpustakaan.
 
Semua itu dibangun dalam kerangka tafsir baru terhadap ajaran agama Islam, sebagaimana yang pernah disampaikan Rektor UIN Sunan Kalijaga, M. Amin Abdullah, bahwa Perguruan Tinggi Agama harus menjadi pelopor dalam hal yang terkait dengan pembelaan dan perlindungan terhadap kaum du’afa dan mustdz’afun pada umumnya, termasuk di dalamnya diffable yang selama ini tidak atau kurang dipedulikan, karena hanya dimaknai dan terbatas pada golongan fakir dan miskin saja.
 
Lalu, bagaimana sesungguhnya penafsiran baru terhadap kaum dhu’afa dan mustdz’afun ini? Istilah dhu’afa biasanya dirujuk pada orang yang  lemah, tak memiliki daya atau akses, dan mustadz’afun biasnya dirujuk pada orang yang tertidas, teraniaya, atau yang diperlakukan secara arogan. Farid Esack berpendapat, mustadz’afun berarti mereka yang berada dalam status sosial “inferior”, yang rentan, tersisih, atau tertindas secara sosioekonomis. Dengan kalimat lain, mustaz’afun adalah mereka yang tertindas secara sistematis sehingga tidak dapat mengakses haknya dan tak mampu menjalankan kewajibannya, bahkan dipaksa menanggung kewajiban orang lain. Orang seperti ini cenderung terpaksa berperilaku melanggar kewajibannya sendiri, karena tak mampu mengakses haknya sebagai modal untuk menjalankan kewajibannya.
 
Al-Qur’an, menurut Farid Esack lagi, juga memakai beberapa istilah lain ketika menunjuk kelas sosial yang rendah dan miskin ini, seperti aradzil (yang tersisih, bisa karena memiliki kekurangan seperti diffable) (Q.S. Hud [11]: 27; Q.S. asy-Syu’ara [26]: 70; Q.S. al-Hajj [22]: 5, fuqra (fakir) Q.S. al-Baqarah [2]: 27; at-Taubah [9]: 60, dan masakin (orang miskin) (Q.S. al-Baqarah [2]: 83, 177; Q.S. an-Nisa’ [4]: 8.
 
Ungkapan “secara sistematis”, seperti yang disebut di atas menunjukkan bahwa dalam istilah mustadz’afun terdapat pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi mereka. Dengan kalimat lain, seseorang menjadi mustadz’afun apabila itu diakibatkan oleh perilaku atau kebijakan pihak yang berkuasa dan arogan. Dalam kasus diffable ini, pihak yang bertanggung jawab adalah mereka yang memiliki kekuasaan secara lokal maupun nasional. Seperti yang dilakukan UIN Sunan Kalijaga, pertanggungjawaban tersebut telah dilaksanakan dengan cara menyelenggarakan pendidikan inklusif, mencampur-menyatukan mahasiswa diffable dan non-diffable, serta memberikan fasilitas yang memudahkan penyandang diffable.
Wallahu a’lam