Allahuyarham Kuntowijoyo pada saat dikukuhkan sebagai guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada pada 21 Juli 2001, mengutarakan tesis monumentalnya tentang sejarah kesadaran keagamaan umat Islam, yaitu dari periode mitos dan ideologi ke tahapan periode ilmu. Tahapan periodesasi tersebut sejalan dengan perubahan masyarakat, yang awalnya masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial, kemudian dari industrial menuju informasi. Klasifikasi dalam setiap periode tentu didasarkan atas perubahan yang dominan dalam masyarakat, tidak serta merta berubah secara total (Kuntowijoyo, 2001).
Tesis monumental tersebut merupakan peta sosiologi pengetahuan umat Islam yang dilihat dari bentuk-bentuk kesadarannya terhadap realitas. Periode mitos memperlihatkan bahwa umat Islam memiliki kepercayaan mistis-religius, sehingga dasar pengetahuannya pada waktu itu adalah mitos. Kepercayaan yang dimiliki masyarakat agraris ini menjadi budaya yang dominan. Petani bercocok tanam dengan teknik sama dari tahun ke tahun, menanam secara monokultur, sangat tergantung musim, dan hama sangat menakutkan mereka. Mistifikasi, sakralisasi, dan mitologisasi waktu, tempat, benda-benda, dan kejadian masih menjadi budaya yang mendominasi.
Periode ideologi, khasanah pengetahuan dipahami sebagai formula normatif. Cara berpikir umat menjadi rasional (rasional nilai, wertrational), tetapi masih non-logis berbentuk pengetahuan apriori tentang nilai-nilai abstrak. Masyarakat yang dominan adalah pedagang dan “partikelir”, serta munculnya ekonomi komersial dan industri kecil. Kekuatan sejarah yang menggerakkan periode ideologi adalah vertical social mobility, creative personality, dan creative minority. Oleh karena itu, perjuangan umat lebih tertuju kepada struktur dalam arti politik (kekuasaan).
Memasuki periode ilmu, umat Islam menghadapi fenomena masyarakat modern dan industrial yang meniscayakan rasionalisasi dan sistemisasi. Pola pikir rasional seperti yang ditunjukkan dalam perilaku ekonmi akan dominan dalam masyarakat industrial, menggantikan cara berpikir berdasarkan nilai, perasaan, dan tradisi. Sistemisasi terjadi karena segala sesuatu diatur oleh sistem, bukan oleh orang lagi. Sehingga diharapkan dapat memberi jaminan bahwa semua urusan akan dilakukan secara fair. Perekrutan tenaga kerja dan pembagian kerja diatur berdasarkan sistem yang impersonal. Dalam politik artikulasi kepentingan, distribusi kekuasaan dan kebijakan-kebijakan politik diatur dan dilakukan dalam kerangka sebuah sistem.
Periode ilmu kemudian melahirkan budaya komunikasi-elektronik, sehingga hubungan cendekiawan dan masyarakat semakin terbuka. Untuk belajar agama, orang tidak perlu nyantri kepada seorang kyai dan berguru kepada seorang ustadz, karena sudah ada buku, radio, televisi, dan internet yang di dalamnya terdapat prinsip do it yourself. Pada masa inilah muncul sebuah generasi yang disebut Kuntowijoyo sebagai Muslim Tanpa Masjid. Dalam generasi ini, cendekiawan telah mengalami proleferasi di berbagai tempat seperti kampus, perusahaan, LSM, bank, birokrasi, serta di partai-partai, sehingga tidak ada organisasi Islam yang dapat mengklaim sebagai umatnya. Masyarakat dan cendekiawan selalu bergerak dan berpindah (mobile), misalnya pelajar, mahasiswa, buruh, aktivis, dosen, dan migran yang tidak menetap. Dalam keadaan seperti ini, cendekiawan kehilangan masyarakat (awam), orang awam kehilangan cendekiawan.
Memasuki kondisi periode ilmu seperti yang tergambar di atas, umat Islam justru mengalami shock cultural. Hal ini disebabkan oleh budaya komunikasi-elektronik (berupa media) dengan logika waktu pendeknya. Logika waktu pendek menyediakan informasi secara instant, tepat waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan. Dengan begitu, media dalam situasi dilematis. Di satu sisi, identitas media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa, atau pendengar kian memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir; di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superficial, dan pesan yang beragam (Haryatmoko, Kompas, 13 Juli 2005).
Bangsa kita yang masih bermental klien (klien yang tergantung pada patron), mempunyai kecenderungan “gagap budaya” atau meniru dengan spontan. Karenanya, masyarakat kita mengidap syndrome celebrity yang akut. Semua orang “mendadak” ingin menjadi selebritis, sebab jalan untuk menjadi selebritis tidak memerlukan kerja yang harus memeras keringat dan membanting tulang. Cukup dengan mengikuti audisi-audisi dan sedikit pelatihan, seseorang akan segera tampil dilayar kaca dan menyandang sebagai “Bukan Bintang Biasa”.
Dalam waktu pendek, “Bukan Bintang Biasa” ini akan dikenal oleh masyarakat seluruh Indonesia. Bahkan, orang rela mendukungnya mati-matian melalui sms supaya “Bukan Bintang Biasa-nya” itu tetap eksis menjadi selebriti. Padahal, dukungan mereka itu tak memiliki keuntungan materiil sedikitpun. Inilah kepuasan yang irrasional dan menjadi sebuah paradoks moderitas yang bernama mistifikasi ketenaran.