Tanpa kita sadari, pernyataan bahwa produksi media ditentukan oleh pasar telah menjadi kesepakan bersama untuk memaklumi wajah buruk media. Buktinya, aku dan kalian semua selalu mencari tema blog sesuai dengan tren yang sedang ramai. Tujuannya jelas, menaikkan trafik. Tak jauh beda dengan industri media yang semakin hari semakin runyam tanpa tujuan yang jelas, untuk apa keberadaan mereka, kecuali profit oriented. Kita pun telah, seakan-akan, dipaksa mengikuti arus besar pasar yang mendikte secara serampangan tanpa memberikan pilihan yang lebih mencerahkan.
Beberapa hari lalu, di Jogja ada Dialog Kebudayaan yang diadakan KPK bersama Polri dan Kejaksaan RI. Dalam dialog itu, Cak Nun dan Kiyai Kanjeng mencoba memfasilitasi tiga institusi tersebut untuk berdiskusi dengan masyarakat atau rakyat, mungkin khususnya adalah Jamaah Maiyah. Akan tetapi, seperti acara-acara biasanya, Cak Nun selalu lebih vokal dan lebih memberikan pencerahan ketimbang para petinggi yang selalu membaca realitas secara normatif. Tak ayal, audien yang diberikan kesempatan untuk bertanya atau mengeksplor masalah terkain pemberantasan korupsi pun ikut-ikutan sangat normatif, bahkan terkesan lucu, untuk tidak menyebutkan norak.
Acara yang dimulai pukul 19.30 hingga 00.00 WIB itu, bagiku seperti tak memberikan pengaruh apa-apa terhadap gagasan perubahan yang selama ini telah diimpikan, mungkin oleh Jamaah Maiyah. Bagi pemikiranku saja tidak berpengaruh, apalagi terhadap Jamaah Maiyah yang telah bergelut dengan pemikiran Cak Nun selama bertahun-tahun. Ini bukanlah sebuah kesombongan, tetapi lebih kepada penyesalan, mengapa petinggi yang bergaji besar dan telah puluhan tahun hidup dalam realitas plural semacam Indonesia masih belum memahami konteks masalah keindonesiaan, baik dari sejarah, politik, ekonomi, budaya, bahkan agama.
Mereka seperti sangat menyepelekan penyakit akut yang sedang di derita bangsa Nusantara. Jawaban-jawaban yang ditawarkan sangat simple dan tidak konkret, tetapi merasa bahwa orang yang banyak bicara tak banyak bekerja. Model berpikir semacam ini jelas menyesatkan. Sebab, komunikasi adalah kunci untuk mendorong adanya konsep dan pembacaan terhadap realitas, sehingga lahir solusi. Jika kita tak banyak bicara atau berkomunikasi, bagaimana mungkin kita mengetahui permasalah yang dirasakan oleh rakyat yang plural dengan segala latar belakangnya. Jangan samakan dengan ahli tarekat yang tak banyak berkomunikasi dengan manusia. Mereka lebih banyak berkomunikasi dengan ruh dan penghuni kebatinan yang memiliki sumber abadi. Tanpa banyak sharing dengan manusia, mereka pun mampu melihat masalah yang sedang kita hadapi.
Kembali ke acara dialog kebudayaan. Keesokan harinya, ternyata tak banyak media yang mengekspose inti permasalahan dalam dialog kebudayaan itu. Hampir semuanya memberitakan secara dangkal dan tak bermutu. Inilah konsekuensi media pasar. Asal jadi berita yang memberikan informasi sekadarnya, sudah dianggap ikut mendorong transformasi social. Padahal, bisa jadi justru menyesatkan, sebab memperdangkal makna dari sebuah dialog, walaupun sesungguhnya tak bermutu. Tetapi banyak hal yang sesungguhnya dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan berarti, terutama dari celotehan Cak Nun. Namun, nyatanya tak ada yang memberitakan Cak Nun dan Kiyai Kanjeng, kecuali para blogger yang tidak lain adalah Jamaah Maiyah sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tren itu bukan tidak diciptakan. Ya, pasar media itu diciptakan oleh industri media sendiri. Jika mereka tak memiliki kepedulian terhadap rakyat, jangan pernah berharap Anda akan menambah pengetahuan tentang realitas rakyat dari media. Salam.
Liputan lengkap, silakan kunjung:
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/01/sentilan-sentilan-cak-nun-tentang-korupsi/
http://regional.kompasiana.com/2011/12/01/bicara-korupsi-dalam-dialog-kebudayaan/
Beberapa hari lalu, di Jogja ada Dialog Kebudayaan yang diadakan KPK bersama Polri dan Kejaksaan RI. Dalam dialog itu, Cak Nun dan Kiyai Kanjeng mencoba memfasilitasi tiga institusi tersebut untuk berdiskusi dengan masyarakat atau rakyat, mungkin khususnya adalah Jamaah Maiyah. Akan tetapi, seperti acara-acara biasanya, Cak Nun selalu lebih vokal dan lebih memberikan pencerahan ketimbang para petinggi yang selalu membaca realitas secara normatif. Tak ayal, audien yang diberikan kesempatan untuk bertanya atau mengeksplor masalah terkain pemberantasan korupsi pun ikut-ikutan sangat normatif, bahkan terkesan lucu, untuk tidak menyebutkan norak.
Acara yang dimulai pukul 19.30 hingga 00.00 WIB itu, bagiku seperti tak memberikan pengaruh apa-apa terhadap gagasan perubahan yang selama ini telah diimpikan, mungkin oleh Jamaah Maiyah. Bagi pemikiranku saja tidak berpengaruh, apalagi terhadap Jamaah Maiyah yang telah bergelut dengan pemikiran Cak Nun selama bertahun-tahun. Ini bukanlah sebuah kesombongan, tetapi lebih kepada penyesalan, mengapa petinggi yang bergaji besar dan telah puluhan tahun hidup dalam realitas plural semacam Indonesia masih belum memahami konteks masalah keindonesiaan, baik dari sejarah, politik, ekonomi, budaya, bahkan agama.
Mereka seperti sangat menyepelekan penyakit akut yang sedang di derita bangsa Nusantara. Jawaban-jawaban yang ditawarkan sangat simple dan tidak konkret, tetapi merasa bahwa orang yang banyak bicara tak banyak bekerja. Model berpikir semacam ini jelas menyesatkan. Sebab, komunikasi adalah kunci untuk mendorong adanya konsep dan pembacaan terhadap realitas, sehingga lahir solusi. Jika kita tak banyak bicara atau berkomunikasi, bagaimana mungkin kita mengetahui permasalah yang dirasakan oleh rakyat yang plural dengan segala latar belakangnya. Jangan samakan dengan ahli tarekat yang tak banyak berkomunikasi dengan manusia. Mereka lebih banyak berkomunikasi dengan ruh dan penghuni kebatinan yang memiliki sumber abadi. Tanpa banyak sharing dengan manusia, mereka pun mampu melihat masalah yang sedang kita hadapi.
Kembali ke acara dialog kebudayaan. Keesokan harinya, ternyata tak banyak media yang mengekspose inti permasalahan dalam dialog kebudayaan itu. Hampir semuanya memberitakan secara dangkal dan tak bermutu. Inilah konsekuensi media pasar. Asal jadi berita yang memberikan informasi sekadarnya, sudah dianggap ikut mendorong transformasi social. Padahal, bisa jadi justru menyesatkan, sebab memperdangkal makna dari sebuah dialog, walaupun sesungguhnya tak bermutu. Tetapi banyak hal yang sesungguhnya dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan berarti, terutama dari celotehan Cak Nun. Namun, nyatanya tak ada yang memberitakan Cak Nun dan Kiyai Kanjeng, kecuali para blogger yang tidak lain adalah Jamaah Maiyah sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tren itu bukan tidak diciptakan. Ya, pasar media itu diciptakan oleh industri media sendiri. Jika mereka tak memiliki kepedulian terhadap rakyat, jangan pernah berharap Anda akan menambah pengetahuan tentang realitas rakyat dari media. Salam.
Liputan lengkap, silakan kunjung:
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/01/sentilan-sentilan-cak-nun-tentang-korupsi/
http://regional.kompasiana.com/2011/12/01/bicara-korupsi-dalam-dialog-kebudayaan/