Home » , , , , , , » IQ Jongkok Beresiko Penyakit Jantung

IQ Jongkok Beresiko Penyakit Jantung

Written By Panji Revolusi on Thursday, August 9, 2012 | 8:53 PM

Peneliti Skotlandia membuktikan, IQ rendah berperan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. IQ rendah membuat seseorang tak tahu bagaimana hidup sehat.

Dulu, merokok disebutkan sebagai penyebab utama seseorang terkena penyakit kardiovaskular. "Rekor" itu bertahan lama, hingga puluhan tahun. Namun, awal bulan ini, rekor tersebut dapat dipatahkan. Yang mematahkan bukan kurang olahraga, stres, atau pola makan yang kurang sehat. Melainkan hanya inteligensia (intelligence quotion --IQ) yang rendah. IQ-lah yang membuat semua kebiasaan buruk muncul dan menenggelamkan perilaku baik.

Adalah David Batty, peneliti dari Medical Research Council dan Public Health Science Unit, Glasgow, Skotlandia, yang membuktikannya. Ia bersama koleganya meneliti 1.145 pria dan wanita selama 20 tahun. Datanya dikumpulkan sejak 1987. Data yang dipelajari antara lain tinggi dan berat badan, tekanan darah, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, pendidikan, pe`kerjaan, dan IQ. Semua informasi itu dikaitkan dengan risiko penyakit jantung dan kematian akibat penyakit mematikan tadi.

Hasilnya, risiko tertinggi dipegang oleh perokok, yaitu sebesar 2,89, dengan kemungkinan terkena 10,8. Sedangkan IQ menempati posisi kedua dengan angka 2,14 dan tingkat risiko 6,61. Disusul oleh penghasilan, tekanan darah tinggi, dan aktivitas fisik. Meski angka IQ masih di bawah merokok, Batty berkeyakinan, IQ-lah yang mendorong seseorang merokok atau tidak. Hasil studi itu dimuat dalam The European Journal of Cardiovascular Prevention and Rehabilitation, edisi bulan lalu.

David Batty punya alasan mengapa mereka yang ber-IQ jongkok bisa terkena penyakit jantung. Menurut dia, orang yang ber-IQ rendah tak bisa mengerti atau memahami risiko merokok bagi kesehatan. Mereka tidak bisa memahami bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan. "Mereka juga tidak tahu apa untungnya mengonsumsi makanan sehat dan berolahraga," katanya.

Nah, agar pemikiran para pemilik IQ rendah itu bisa diubah, Batty menganjurkan mereka menjalani pola pembelajaran awal atau masuk sekolah khusus. Di situ diajarkan apa saja hal-hal positif yang patut diikuti dan hal negatif yang perlu dihindari. "Dengan mendapat bimbingan di sekolah khusus, IQ mereka bisa ditingkatkan," ujarnya. "Mereka akan tahu bahaya merokok dan menjauhi rokok," ia menambahkan.

Studi itu tentu saja mengejutkan. Sebab jarang sekali studi yang mengaitkan IQ dengan risiko penyakit jantung. Pada umumnya, inteligensia berkaitan dengan penyakit mental atau saraf. Meskipun harus diakui, kaitan inteligensia dengan risiko penyakit jantung tidak bersifat langsung.

Penyakit kardiovaskular hingga kini menjadi pembunuh nomor wahid sedunia. Penderitanya juga terbilang paling banyak. Di Amerika Serikat, sebanyak 61,8 juta penduduk berisiko terkena penyakit ini. Disusul oleh diabetes, kanker, dan penyakit lain.

Yang termasuk dalam kelompok penyakit kardiovaskular adalah serangan jantung, penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi, gagal jantung, aterosklerosis, dan nyeri dada (angina). Aterosklerosis adalah penebalan dan pengerasan pembuluh darah akibat penumpukan lemak dan kolesterol.

Sementara itu, di Indonesia, prevalensi penderitanya mencapai 7%. Artinya, dari 220 juta penduduk, sebanyak 15,4 juta jiwa terkena penyakit ganas ini. Itu berdasarkan hasil riset kesehatan dasar yang dilaporkan pada 2007.

Dulu, penyakit itu lebih banyak disebut sebagai penyakit degeneratif yang berkaitan dengan faktor usia. Namun belakangan, penyakit jantung mulai menyerang usia muda. Kebiasaan merokok, stres, kurang berolahraga, dan pola makan yang kurang sehat memicu terjadinya penyakit kardiovaskular lebih awal. Nah, dengan hasil studi Batty itu, faktor IQ juga bisa menjadi salah satu penyebab.

Profesor Harmani Kalim, ahli penyakit jantung dan pembuluh darah pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sependapat dengan temuan Batty. Menurut dia, di negara-negara maju, sebagian besar pasien penyakit jantung berasal dari kalangan berpendidikan kurang. "Lulusan perguruan tinggi jarang yang terkena penyakit itu," katanya.

Hal itu berbeda dengan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di negara-negara berkembang, jumlah penderita penyakit jantung yang berpendidikan rendah dan tinggi sama besarnya. Sebagian yang berpendidikan rendah justru menderita penyakit infeksi.

Menurut Harmani, IQ berkaitan erat dengan tingkat pendidikan. Karena itu, ia memandang, masyarakat harus dididik mengenai kesehatan jantung. Peran pemerintah sangat penting. Sebab, sampai sekarang, selain rokok, konsumsi makanan bergaram tinggi masih banyak dijumpai.

Begitu pula psikiater dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Dokter Teddy Hidayat. Tapi, "Itu penyebab tidak langsung," ujarnya. Penyakit jantung lebih banyak disebabkan buruknya gaya hidup seseorang. Makan tidak teratur, banyak lemak, merokok, alkoholik, penumpukan kolesterol dalam tubuh, dan kurangnya olahraga juga menjadi penyebabnya.

Kenapa orang ber-IQ rendah berpotensi terkena penyakit jantung? "Orang yang IQ-nya rendah tidak akan bisa bersaing dengan orang ber-IQ normal," tutur Teddy. Ketika berada di lingkungan penuh kompetisi, orang ber-IQ rendah bakal kalah. Ini akan menimbulkan stres.

Makin lama, stres akan membahayakan jantung. Inilah, menurut Teddy, yang membuat IQ rendah dibilang sebagai penyebab tidak langsung penyakit jantung. Menurut Teddy, dibandingkan dengan yang ber-IQ normal, orang yang ber-IQ rendah lebih berisiko.

Ia pun mengajukan beberapa analisis. Pertama, orang yang inteligensianya rendah tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Mereka tidak mengetahui bahwa merokok atau alkohol itu merugikan.

Kedua, mereka sulit mengendalikan dorongan. Makanan enak, meski berkolesterol tinggi, disantap. Mereka mudah pula terjerat narkotika. Rokok, kolesterol, alkohol, dan narkotika, menurut Teddy, menjadi faktor paling besar penyebab penyakit jantung. Berat badan pun harus terus dikontrol.

IQ yang rendah sulit ditingkatkan. "Sudah dari sono-nya, susah untuk meningkatkannya," kata Teddy. Untuk mereka yang memiliki IQ rendah, pengawasan keluarga juga sangat penting. Jika faktor gaya hidup ditambah stres, risikonya akan bertambah besar. "Di sini (RSHS), pasien seperti itu banyak," katanya.

Aries Kelana, dan Wisnu Wage Pamungkas (Bandung)

Tidak Merokok, IQ Melorot

Studi David Batty mendapat tantangan. Tak lama setelah riset Batty dipublikasikan, Dokter Mark Weiser, peneliti dari Sheba Medical Center, Tel Hashomer, Israel, menyajikan hasil riset lain. Ia bersama koleganya meneliti sekitar 20.000 calon tentara. Usia mereka rata-rata 18 tahun.

Peneliti membandingkan IQ tentara yang perokok dengan yang non-perokok. Studi ini tidak melibatkan para calon tentara yang menderita gangguan mental. Selama IQ-nya dites, mereka dilarang merokok.

Setelah dicek, sebanyak 28% dari mereka mengaku merokok minimal sebatang sehari. Lalu 3% pernah merokok dan 68% tidak pernah merokok sama sekali. Sisanya tidak menjawab. Weiser kemudian mengetes inteligensia mereka. Walhasil, IQ rata-rata non-perokok sekitar 101, sedangkan IQ perokok rata-rata 94.

Jika dilihat dari jumlah batang rokok yang diisap per hari, ia menjumpai hal-hal yang mengejutkan. Orang yang merokok sebatang sehari ber-IQ 98. Jumlah ini terus merosot menjadi 90 pada IQ perokok yang menghabiskan sebungkus rokok per hari. Ia juga melihat, calon tentara yang mulai merokok pada saat masuk dinas militer punya inteligensia jeblok: 97. Hasil studi Weiser itu dimuat dalam jurnal Addiction, edisi Februari lalu.

Namun Weiser tak menyimpulkan bahwa perokok memiliki IQ rendah. Ia justru menduga, turunnya IQ itu lebih disebabkan larangan merokok selama mereka dites. "Mungkin karena tidak merokok, mereka lemas dan tak bisa berpikir," ujarnya. Tapi Weiser juga menyatakan, merokok bisa membuat orang kurang smart. Nah lo.

`Aries Kelana