Home » , , , , , » Deteksi Dini Kanker dengan Dua Garis

Deteksi Dini Kanker dengan Dua Garis

Written By Panji Revolusi on Friday, November 2, 2012 | 7:13 PM

Tim ahli UGM menciptakan alat tes kanker tenggorokan. Mampu memotong ongkos ratusan ribu rupiah menjadi hanya Rp 20.000 saja. Lebih cepat, lebih murah, dan lebih efektif.

Awalnya pilek biasa saja. Tetapi makin lama efeknya merambat ke telinga. Rasa tak nyaman, pendengaran menurun, seperti ada bunyi mendesing. Hidung jadi sering mimisan dan mampet. Puncaknya, timbul benjolan di leher. Kalau sudah begini, siap-siap menerima kabar tak sedap dari dokter: inilah pertanda kanker tenggorokan alias kanker nasofaring (nasopharyngeal carcinoma -NPC) sedang menyerang.

NPC tak bisa dianggap enteng. Beragam penelitian menunjukkan angka kejadian NPC di Indonesiacukup tinggi, yakni 4,7 kasus per tahun pada 100.000 penduduk. Data lain bahkan menunjukkan angka yang lebih tinggi, yakni 6,2 kasus pada 100.000 penduduk, yang berarti setidaknya ada 1.000 kasus baru NPC yang tercatat tiap bulan.

Data tersebut juga menunjukkan umur penderita yang cenderung berusia muda, sebanyak 20% terjadi pada usia di bawah 30 tahun (ENT Cancer Foundation). Karena gejala awalnya tergolong ringan, banyak pasien tak sadar dan terlambat datang berobat. Bahkan tak jarang terjadi salah diagnosis karena gejala awal NPC tidak spesifik. Apalagi, untuk melacak NPC, memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Syukurlah, kini pasien NPC dapat segera mendapat pertolongan. Para ahli dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK-UGM), Yogyakarta, yang dipimpin Profesor Sofia Mubarika Harjana, menemukan cara lebih cepat dan jitu untuk mendeteksi kanker nasofaring. Yakni dengan peranti "Gama NPC Test Strip".

Dengan penanganan yang tepat, Gama Test Strip dapat melacak NPC dalam waktu 15 menit hingga 1 jam saja. "Makin cepat terdeteksi, makin besar peluang sembuh," kata Dewi Paramita, salah satu anggota tim peneliti NPC yang juga menjadi Ketua Bagian Biologi Molekuler, FK-UGM.

Sebelumnya, terapi standar bagi penderita NPC adalah dengan biopsi, mengambil sedikit jaringan kanker untuk dianalisis. "Tapi metode ini hanya bisa diterapkan pada penderita yang gejalanya sudah jelas. Cara ini membuat pasien terluka," kata Dewi.

Namun kemudian berkembang metode dengan menganalisis darah pasien yang telah berkembang sejak 1960-an. Dokter akan meneliti apakah darah pasien telah tercemar virus Epstein-Barr (EBV), yang menjadi biang keladi terjadinya NPC (lihat: Lebih Suka Pria).

Untuk melacak sang virus, para ahli umumnya menggunakan metode ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Metode ini mengandalkan reaksi antara zat antigen dan antibodi dalam suatu sampel sehingga kehadiran virus dapat terdeteksi. Sebelum menggunakan ELISA, tim ahli lebih dulu mencari rangkaian protein pada virus, yang dapat dijadikan marker (penanda). Protein itu, antara lain, EBV nuclear antigen (EBNA), viral capsid antigen (VCA), dan early antigen (EA). Tim ahli kemudian menganalisis reaksi antigen-antigen tersebut dengan antibodi yang dipilih, yakni immunoglobulin A (IgA).

Akhirnya, salah satu peneliti dari FK-UGM, Jajah Fachiroh, berhasil mendeteksi protein antigen yang dominan dalam NPC, yakni VCA p18 dan EBNA 1. Temuan itu kemudian, sejak 2000, digunakan sebagai metode standar untuk memeriksa penyakit kanker ini di FK-UGM. Tapi hasilnya belum terlalu akurat.

Menurut Dewi, masih ada sekitar 10% responden yang sehat tetapi terdeteksi EBV. "Kami juga masih mencari metode yang lebih kuat standardisasinya sehingga dapat dipraktekkan di laboratorium mana pun," kata Dewi.

Untuk mengolah antigen juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. "Ongkosnya mencapai Rp 250.000 untuk tiap antigen. Padahal, proses ini membutuhkan dua antigen (VCA dan EBNA)," kata Dewi. Jadi total biaya pelacakan virus ini mencapai Rp 500.000. Tapi FK-UGM sanggup menggabungkan kedua antigen itu dalam satu paket tes saja sehingga ongkosnya dapat dipotong separuh.

***

Sebagai ketua tim peneliti, Prof. Sofia sempat mendiskusikan temuan UGM ini kepada sejumlah ahli, termasuk Menteri Kesehatan yang ketika itu dijabat Prof. Siti Fadilah Supari, tiga tahun silam. "Wah, biayanya masih terlalu mahal untuk masyarakat kita. Bisa nggak bikin tes dengan harga yang lebih terjangkau?" kata Dewi mengutip perkataan Siti.

Prof. Sofia menerima "tantangan" itu dan memacu FK-UGM untuk menciptakan cara yang lebih praktis dan murah. Salah satunya adalah dengan memakai strip kertas seperti tes kehamilan. Karena itu, FK-UGM kemudian menjalin kerja sama dengan Laboratorium Hepatika, Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat. "Mereka memang memiliki teknologinya," kata Dewi.

Tim gabungan ini kemudian mengarahkan perhatiannya pada protein EA tadi. Ternyata, setelah melalui rangkaian uji coba laboratorium, EA jauh lebih sensitif, setelah direaksikan dengan antibodi immunoglobulin G (IgG). Tingkat akurasinya mencapai 90%. Materi inilah yang kemudian diterapkan pada Gama Test Strip.

Strip itu berupa kertas membran netriselulosa, yang mengandung antigen protein EBV yakni EA, dan anti-IgG. "Sehingga Gama Strip ini dapat mendeteksi NPC pada pasien," kata Dewi. Strip-strip itu dikemas dalam tabung kecil kedap udara. Selain itu, juga dilengkapi dengan sebuah botol kecil pelarut untuk memisahkan sel darah merah dengan antibodi.

***

Cara menggunakan Gama Strip, awalnya darah pasien diambil dan diolah menjadi serum dengan memisahkan sel darah merah dan sel antibodi. Proses ini memerlukan waktu sekitar 1-2 jam tetapi jika dibantu alat laboratorium, hanya 15 menit. Serum tadi kemudian dicampur dengan larutan khusus yang telah tersedia. Selanjutnya, kertas strip dicelupkan pada cairan serum selama lebih kurang 15 menit. Hasilnya, ''seperti tes kehamilan, jika positif terkena NPC muncul dua garis. Tetapi kalau yang muncul hanya satu garis, berarti negatif," kata Dewi.

Hingga kini, FK-UGM telah memproduksi tiga kemasan Gama Strip, masing-masing terdiri dari 100-200 strip test. Ongkos memakai Gama Strip hanya Rp 20.000, tak seperti sebelumnya yang menelan biaya hingga ratusan ribu rupiah. Namun, penerapan Gama Strip baru sampai tahap laboratorium. "Kami mengambil sampel dari gen para pasien di rumah sakit," kata Dewi.

Tahap selanjutnya, Gama Strip akan diujicobakan secara klinis untuk pasien NPC. Tim ahli juga akan merancang agar Gama Strip dapat digunakan langsung pada darah pasien di ujung jari, bukan pada serum. "Kami juga ingin agar garisnya bisa bertahan beberapa jam agar pemeriksaannya tidak terburu-buru," kata Dewi.

Satu-satunya kendala yang masih harus diatasi adalah karena komponen alat tes ini masih impor. "Tapi saya yakin jika diproduksi secara massal, harganya akan terjangkau," kata Dewi lagi.

Nur Hidayat, dan Arief Koes Hernawan (Yogyakarta)