Aliran Bahasa
Penyebutan kata aliran kadang-kadang para ahli bahasa menyamakan penyebutannya dengan kata teori. Kata aliran dan teori padahal memiliki makna yang berbeda. Teori lebih fokus pada hipotesis yang berdasarkan pemikiran filosofis (more focus to hypothesis based on philosophy), sedangkan makna aliran lebih fokus terhadap seseorang atau sekelompok orang yang memiliki keyakinan terhadap sesuatu yang diyakini kebenarannya (more focus to something convinced its truth). Kriteria yang digunakan untuk membedakan dan mengelompokkan teori/aliran bahasa di sini adalah kekhususan cara memahami bahasa dan kekhususan corak analisisnya. Teori/aliran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
Penyebutan kata aliran kadang-kadang para ahli bahasa menyamakan penyebutannya dengan kata teori. Kata aliran dan teori padahal memiliki makna yang berbeda. Teori lebih fokus pada hipotesis yang berdasarkan pemikiran filosofis (more focus to hypothesis based on philosophy), sedangkan makna aliran lebih fokus terhadap seseorang atau sekelompok orang yang memiliki keyakinan terhadap sesuatu yang diyakini kebenarannya (more focus to something convinced its truth). Kriteria yang digunakan untuk membedakan dan mengelompokkan teori/aliran bahasa di sini adalah kekhususan cara memahami bahasa dan kekhususan corak analisisnya. Teori/aliran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
Aliran Tradisional
Aliran ini berdasarkan pola pemikiran secara filosofis. Dari latar belakang sejarahnya, diketahui bahwa munculnya teori/aliran ini bermula dari telaah filsafatnya Plato dan dikembangkan oleh muridnya, yaitu Aristoteles. Kedua tokoh ini dikenal sebagai filosof-filosof besar Yunani, walaupun sebenarnya baru berkembang setelah zaman Yunani berlaku (Soeparno, 2002: 44). Plato dalam rangka telaah filsafatnya pada waktu membagi bahasa Yunani menjadi dua, yaitu Onoma (starting point of statements) dan Rhema (using word to pronounce statements). Kemudian dikembangkan Aristoteles menjadi tiga dengan menambahkan Syndosmos. Anoma lebih kurang dapat disejajarkan dengan kata benda, rhema dapat disejajarkan dengan kata kerja (verba) dan kata sifat (adjective). Inilah yang melatarbelakangi lahirnya teori dalam pembelajaran bahasa yang dikenal dengan part of speech (pembagian kata) saat ini.
Ada beberapa ciri atau corak pemikiran aliran tradisional yang dapat didiskusikan. (a) Tidak membedakan bahasa dan tulisan, (b) senang bermain dengan definisi, (c) pemakaian bahasa harus berdasarkan pada kaidah tata bahasa. Pada tataran pemikiran mengenai bahasa dan tulisan, aliran tradisional tidak membedakan antara keduanya. Teori ini mencampuradukkan bahasa (dalam pengertian yang sebenarnya) dan tulisan (perwujudan bahasa dengan media huruf). Secara otomatis juga mencampuradukkan pengertian bunyi dan huruf. Sebagai bukti sebagaimana seorang ahli bahasa mencampuradukkan pengertian bunyi/fonem dan huruf, dapat dibaca pada kutipan berikut ini: “antara vokal-vokal itu huruf a adalah yang membentuk lubang mulut yang besar, i yang kecil, e biasanya terbentuk di dalam mulut sebelah muka, dan o di belakang sebelah ke dalam” (Mees, 1950: 35).
Membaca kutipan tersebut dapat dinilai bahwa ada sesuatu yang tidak masuk akal, yakni “huruf a yang membentuk lubang mulut”. Menurut logika dan kenyataan tidak ada huruf yang berurusan dengan mulut. Biasanya huruf berurusan dengan pensil, pena, kapur, spidol, papan tulis, dan barang-barang lain yang berkaitan dengan produksi huruf. Pengertian yang agak kacau balau ini merupakan akibat kebiasaan orang-orang Romawi yang mendewa-dewakan bahasa tulis, dan juga karena terpacu oleh pesatnya teknologi Guttenberg (Guttenberg adalah penemu mesin tulis atau mesin cetak) (Soeparno, 2002: 45).
Aliran tradisional bercirikan bahwa aliran ini senang bermain dengan definisi-definisi. Ciri demikian ini akibat pengaruh dari cara berpikir secara deduktif. Semua istilah diberi definisi terlebih dahulu dan untuk selanjutnya diberi contoh, yang kadang-kadang hanya ala kadarnya. Aliran atau teori ini tidak pernah menyajikan kenyataan-kenyataan bahasa yang dianalisis dan disimpulkan. Yang terpenting menurut aliran ini adalah memahami istilah dengan menghafal definisi yang dirumuskan dengan filosofis.
Dalam pemakaian bahasa, aliran ini mendasarkannya pada pola-pola tata bahasa. Ketaatan pada pola bahasa diwarisi sejak para ahli tata bahasa tradisional mengambil alih pola-pola bahasa Latin untuk diterapkan pada bahasa mereka sendiri. Kaidah bahasa yang dibentuk dalam suatu bentuk buku tata bahasa harus benar-benar ditaati oleh pemakai bahasa. Setiap pelanggaran kaidah dinyatakan sebagai bahasa yang salah dan menyimpang. Pengajaran bahasa di sekolah mengajarkan bahasa persis yang tercantum di dalam buku tata bahasa. Praktek semacam itu mengakibatkan siswa pandai dan hafal teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir berbicara atau berbahasa di dalam kehidupan bermasyarakat.
Tata bahasa yang dipakai disebut tata bahasa normatif dan tata bahasa preskriptif. Dinamakan tata bahasa normatif karena pemakai bahasa harus taat pada norma yang sudah digariskan oleh tata bahasa, sedangkan tata bahasa preskriptif adalah tata bahasa yang cenderung menghakimi benar salah pemakaian bahasa. Kedua model tata bahasa ini sekarang banyak ditentang oleh para pakar penganut bahasa pragmatik, yakni tata bahasa yang orientasinya pada maksud dan keperluan berbahasa di dalam kenyataan hidup di masyarakat. Tata bahasa pragmatik dan pengajaran pragmatik mulai mendapat perhatian besar dari para ahli bahasa masa kini karena selaras dengan pendekatan komunikatif.
Aliran Struktural
Teori ini lebih banyak berlandaskan pola pemikiran secara behaviouristik. Paham behaviouristik beranggapan bahwa jiwa seseorang dan hakikat sesuatu hanya bisa dideteksi lewat tingkah laku dan perwujudan lahiriahnya yang tampak. Sejalan dengan itu, aliran struktural mengamati bahasa dan hakikatnya dalam perwujudannya yang konkret sebagai bentuk ujaran. Semula aliran struktural menempatkan bentuk dan makna dalam kedudukan yang seimbang, namun dalam perkembangannya menjadi beraneka versi. Ada versi yang lebih menekankan pada segi bentuk dan ada pula versi yang lebih menekankan pada segi makna.
Teori ini lebih banyak berlandaskan pola pemikiran secara behaviouristik. Paham behaviouristik beranggapan bahwa jiwa seseorang dan hakikat sesuatu hanya bisa dideteksi lewat tingkah laku dan perwujudan lahiriahnya yang tampak. Sejalan dengan itu, aliran struktural mengamati bahasa dan hakikatnya dalam perwujudannya yang konkret sebagai bentuk ujaran. Semula aliran struktural menempatkan bentuk dan makna dalam kedudukan yang seimbang, namun dalam perkembangannya menjadi beraneka versi. Ada versi yang lebih menekankan pada segi bentuk dan ada pula versi yang lebih menekankan pada segi makna.
Aliran struktur ini lahir pada awal abad XX atau tepatnya tahun 1916. Tahun tersebut menjadi tahun monumental lahirnya aliran struktural, sebab pada tahun itu terbit sebuah buku berjudul “Course de Linguitique Generale” karya de Saussure yang berisi pokok-pokok teori struktural yang juga sebagai pokok-pokok pikiran linguistik modern. Sebelum teori ini muncul, dunia linguistik belum beranjak dari teori tradisional. Kehadiran karya de Saussure ini benar-benar dirasakan sebagai suatu revolusi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila de Saussure digelari Bapak strukturalisme dan sekaligus sebagai Bapak linguistik modern.
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh teori struktural, yaitu (a) teori ini menganggap bahwa bahasa adalah ujaran (language is speech), (b) bahasa adalah sistem tanda (language is sign), dan (c) bahasa adalah faktor kebiasaan (language is innate). Aliran ini menganggap bahwa bahasa adalah ujaran menunjukkan aliran ini hanya berupa ujaran saja yang dapat disebut dengan bahasa. Bentuk perwujudan yang selain ujaran tidak dapat digolongkan sebagai bahasa dalam arti yang sebenarnya, termasuk juga tulisan. Dalam pengajaran bahasa teori struktural melahirkan metode langsung dengan pendekatan oral (oral approach). Semenjak teori struktural muncul, pengacauan masalah pengertian bahasa dan tulisan serta bunyi dan huruf dapat teratasi dan terpecahkan. Bahasa benar-benar dibedakan dengan tulisan, sedangkan bunyi dan fonem benar-benar dibedakan dengan huruf.
Anggapan teori struktural bahwa pada hakikatnya bahasa adalah sistem tanda merupakan sesuatu yang khas dari aliran/teori ini. Teori struktural beranggapan bahwa sistem tanda tersebut bersifat arbitrer dan konvensional. Sistem tanda dalam bahasa berupa dua sisi, sisi pertama berupa signifie (tertanda), sedangkan sisi lain berupa signifiant (penanda). Adapun yang dimaksud dengan arbitrer adalah sifat dari tanda tersebut adalah semena-mena. Namun demikian, kesemena-menaan itu dibatasi oleh suatu konvensi atau kesepakatan antarpemakai.
Salah satu lagi mencirikan teori struktural adalah ia beranggapan bahwa bahasa merupakan faktor kebiasaan (habit). Aliran ini berkeyakinan bahwa teorinya benar dan dapat memberikan bukti yang menyakinkan. Bukti yang ditawarkan itu ialah bukti tentang cerita seorang bayi yang dibesarkan oleh sekelompok serigala. Bayi tersebut setelah dewasa sama sekali tidak dapat berbahasa karena ia sama sekali tidak pernah melihat tingkah laku dan suara manusia. Yang ia lihat sehari-hari hanyalah tingkah laku dan suara serigala saja, sehingga akhirnya ia hanya dapat berjalan dengan merangkak, makan langsung dengan mulut, dan melolong seperti serigala. Cerita yang konon terjadi di negeri India ini merupakan bukti kuat bahwa bahasa benar-benar merupakan faktor kebiasaan. Meskipun manusia memiliki warisan (innate) untuk berbahasa, namun tanpa dibiasakan atau dilatih mustahil faktor warisan itu dapat berkembang menjadi bahasa.
Berkaitan dengan faktor habit ini, kaum strukturalis menerapkan metode di dalam pembelajaran bahasa yang kemudian terkenal dengan metode drill and practice, yakni suatu metode yang menerapkan pemberian latihan yang terus-menerus dan berulang-ulang sehingga akhirnya membentuk suatu kebiasaan, sayangnya bentuk latihan semacam ini sangat menjemukan.
Aliran Transformasional
Aliran yang dipelopori oleh N. Chomsky merupakan reaksi dari paham strukturalisme. Konsep strukturalisme yang paling ditentang aliran ini adalah konsep bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit). Kaum transformasi menertawakan anggapan kaum struktural bahwa bahasa merupakan faktor kebiasaan. Mereka beranggapan dengan penuh keyakinan bahwa bahasa meruapakan faktor innate (warisan keturunan). Apabila kaum struktural dapat memberikan bukti bahwa bahasa merupakan habit, maka kaum transformasi pun dapat menunjukkan bahwa bahasa bukan habit.
Aliran yang dipelopori oleh N. Chomsky merupakan reaksi dari paham strukturalisme. Konsep strukturalisme yang paling ditentang aliran ini adalah konsep bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit). Kaum transformasi menertawakan anggapan kaum struktural bahwa bahasa merupakan faktor kebiasaan. Mereka beranggapan dengan penuh keyakinan bahwa bahasa meruapakan faktor innate (warisan keturunan). Apabila kaum struktural dapat memberikan bukti bahwa bahasa merupakan habit, maka kaum transformasi pun dapat menunjukkan bahwa bahasa bukan habit.
Dalam kasus ini Chomsky pernah minta bantuan seorang rekannya ahli bedah otak. Berkat bantuan rekannya itu dapat dibuktikan bahwa struktur otak manusia dengan struktur otak simpanse persis sama, kecuali satu simpul syaraf bicara yang ada pada struktur otak manusia tidak terdapat pada otak simpanse. Itulah sebabnya simpanse tidak dapat berbicara walaupun kadang-kadang ada simpanse yang keterampilan dan kecerdesannya mendekati manusia. Walaupun dilatih dengan metode drill and practice seribu kali tidak akan mungkin seekor simpanse dapat berbicara, sebab dapat atau tidaknya berbicara itu bukan karena faktor latihan ataupun kebiasaan melainkan karena faktor warisan atau innate. Menurut kenyataan dan memang sudah dikodratkan bahwa simpanse memang tidak mempunyai innate itu, jadi tidak mungkin ia dapat berbahasa.
Perbedaan lain yang mencirikan aliran transformasi dengan aliran/teori lainnya adalah kaum transformasi menyatakan bahwa bahasa terdiri atas lapis dalam (deep structure) dan lapis luar (surface structure), dan bahasa terdiri atas dua unsur, yaitu competent dan performance. Pada lapis dalam (deep structure) merupakan tempat terjadinya proses berbahasa yang sesungguhnya atau secara mentalistik, sedangkan pada lapis luar (surface structure) menurut teori ini merupakan wujud lahiriah yang ditransformasikan dari lapis dalam. Kalimat “aku cinta padamu, I love you” merupakan dua struktur permukaan yang ditransformasikan dari satu struktur dalam yang sama (Soeparno, 2002:54).
Unsur competent dan performance juga mewarnai pemikiran dari aliran ini. Linguistics competent yang dimaksud aliran ini adalah pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang penutur tentang bahasanya, termasuk juga kemampuan seseorang untuk menguasai kaidah-kaidah yang berlaku bagi bahasanya. Selanjutnya, linguistik performance merupakan keterampilan seseorang dalam menggunakan bahasanya. Kedua unsur ini sama-sama penting kedudukannya, yang satu tidak lebih penting dari yang lain. Namun kenyataannya, ada orang yang kompetensi linguistiknya sangat baik akan tetapi kemampuan performansinya tidak baik. Sebaliknya, ada pula orang yang kompetensi linguistiknya kurang baik akan tetapi performansinya cukup baik. Yang paling ideal adalah kompetensi dan performansi kedua-duanya baik.