Tidak seperti pada berbagai penyakit lainnya, kasus toksoplasmosis pada hewan umumnya tidak menunjukkan adanya gejala klinis baik pada hospes definitif maupun hospes perantara. Pada kucing misalnya, toksoplasmosis umumnya jarang disertai timbulnya gejala klinis meskipun kucing tersebut terinfeksi oleh oosista yang jumlahnya berjuta-juta.
Domba dan Kambing
Gejala penyakit pada domba dan kambing mirip dengan gejala pada manusia, yaitu infeksinya secara asimtomatik. Penyakit ini ditandai dengan plasentitis, abortus, ensefalitis dan lesi pada mata. Pada domba yang menderita plasentitis, abortus terjadi pada akhir bulan dari kebuntingan atau dapat menyebabkan kelahiran mati. Foki nekrotik warna abu-abu dapat ditemukan pada kotiledon. Infeksi kongenital pada anak domba dapat menyebabkan inkoordinasi, gangguan fisik dan tidak dapat makan sendiri (Acha dan Syzfres, 1980). Pada domba betina dengan umur kebuntingan kurang dari 120 hari, abortus terjadi pada 26 - 55 hari setelah inokulasi (Munday dan Dubey, 1986). Penyakit reproduksi yang utama akibat infeksi parasit ini pada kambing adalah abortus, mumifikasi, stillbirth dan kematian perinatal (Nurse dan Lenghaus, 1986). Menurut Levine (1978), kematian pada anak domba dan domba dewasa yang menderita toksoplasmosis umumnya disebabkan oleh gangguan syaraf dan pernafasan. Dubey (1986) melaporkan adanya infeksi toksoplasmosis yang diperoleh sebelum 50 hari kebuntingan yang besar kemungkinan disebabkan oleh kematian embrio dan resorbsi, sedangkan infeksi yang diperoleh antara 50 - 90 hari kebuntingan, mungkin menyebabkan kematian fetus dan mumifikasi, stillbirth dan kematian neonatal. Infeksi yang terjadi selama akhir kebuntingan mungkin menghasilkan toksoplasmosis yang tidak tampak.
Pada Babi
Infeksi toksoplasmosis pertama kali pada babi dilaporkan oleh Farrel pada tahun 1952 (Soulsby, 1982). Babi dapat menderita toksoplasmosis secara kongenital. Babi umur 3 - 4 minggu adalah paling peka terhadap infeksi secara perolehan. Gejala lain yang tampak adalah demam, dispnoe, batuk-batuk, tremor, relaksasi otot perut, diare, asites dan bisa berakibat fatal, jika babi masih tetap bertahan hidup, maka gejala-gejala syaraf masih sering timbul sampai dewasa. Pada babi dewasa, gejala ini bersifat asimtomatik, namun parasitnya dapat diisolasi dari air seni, ludah dan air susu (Bruner dan Gillespie, 1973).
Domba dan Kambing
Gejala penyakit pada domba dan kambing mirip dengan gejala pada manusia, yaitu infeksinya secara asimtomatik. Penyakit ini ditandai dengan plasentitis, abortus, ensefalitis dan lesi pada mata. Pada domba yang menderita plasentitis, abortus terjadi pada akhir bulan dari kebuntingan atau dapat menyebabkan kelahiran mati. Foki nekrotik warna abu-abu dapat ditemukan pada kotiledon. Infeksi kongenital pada anak domba dapat menyebabkan inkoordinasi, gangguan fisik dan tidak dapat makan sendiri (Acha dan Syzfres, 1980). Pada domba betina dengan umur kebuntingan kurang dari 120 hari, abortus terjadi pada 26 - 55 hari setelah inokulasi (Munday dan Dubey, 1986). Penyakit reproduksi yang utama akibat infeksi parasit ini pada kambing adalah abortus, mumifikasi, stillbirth dan kematian perinatal (Nurse dan Lenghaus, 1986). Menurut Levine (1978), kematian pada anak domba dan domba dewasa yang menderita toksoplasmosis umumnya disebabkan oleh gangguan syaraf dan pernafasan. Dubey (1986) melaporkan adanya infeksi toksoplasmosis yang diperoleh sebelum 50 hari kebuntingan yang besar kemungkinan disebabkan oleh kematian embrio dan resorbsi, sedangkan infeksi yang diperoleh antara 50 - 90 hari kebuntingan, mungkin menyebabkan kematian fetus dan mumifikasi, stillbirth dan kematian neonatal. Infeksi yang terjadi selama akhir kebuntingan mungkin menghasilkan toksoplasmosis yang tidak tampak.
Pada Babi
Infeksi toksoplasmosis pertama kali pada babi dilaporkan oleh Farrel pada tahun 1952 (Soulsby, 1982). Babi dapat menderita toksoplasmosis secara kongenital. Babi umur 3 - 4 minggu adalah paling peka terhadap infeksi secara perolehan. Gejala lain yang tampak adalah demam, dispnoe, batuk-batuk, tremor, relaksasi otot perut, diare, asites dan bisa berakibat fatal, jika babi masih tetap bertahan hidup, maka gejala-gejala syaraf masih sering timbul sampai dewasa. Pada babi dewasa, gejala ini bersifat asimtomatik, namun parasitnya dapat diisolasi dari air seni, ludah dan air susu (Bruner dan Gillespie, 1973).
Gejala klinis yang terjadi pada induk babi yang terinfeksi toksoplasmosis antara lain adalah kelemahan, inkoordinasi, batuk, tremor, relaksasi otot abdomen dan diare tanpa demam. Pada babi muda, bentuk akut ditandai dengan demam tinggi dan diare yang kemudian dapat berakhir dengan kematian setelah beberapa minggu. Pada babi umur 2 - 4 minggu, gejala-gejala yang tampak yaitu : kekurusan, sesak nafas, batuk, tanda-tanda syaraf dan ataksia (Blood et al., 1983).
Lembu atau Sapi
Lembu atau Sapi
Sapi dapat menjadi hospes perantara bagi T. gondii meskipun parasit tersebut berlokasi di dalam tubuh sapi. Suatu penelitian pada sapi yang dilakukan oleh Dubey dan Beattie (1988) dengan memberi infeksi buatan T. gondii menunjukkan adanya Toksoplasma yang dapat bertahan hingga periode yang lama di dalam daging dan organ, namun demikian tidak menunjukkan titer antibodi yang berarti. Sapi penderita menunjukkan gejala demam, kelesuan dan nafsu makan menurun. Empat minggu setelah sapi tersebut diinfeksi, dapat dideteksi adanya Toksoplasma dari berbagai organ, akan tetapi segera dieliminasikan dari tubuh sapi hingga minggu ke 8. Diagnosa yang dilakukan dengan uji Sabin Feldman (SFT) yang ditujukan untuk melihat aktifitas antibodi mencapai nilai maksimum pada hari ke 9 - 30. Selanjutnya pada bulan ke 2 hingga 6 aktifitas tersebut kembali menghilang. Uji yang dilakukan dengan metode Aglutinasi menunjukkan hasil adanya titer antibodi dalam waktu yang lebih lama. Gambaran patologi - anatomi dari sapi yang terinfeksi sangat sedikit, terutama hanya dijumpai pembengkakan limfa dan nodus limfatikus.
Kondisi yang lebih parah pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti pada anak-anak sapi yang menderita toksoplasmosis dengan kematian 2 - 6 hari setelah lahir atau lahir dalam keadaan mati. Gejala-gejala yang nampak pada hewan tersebut adalah demam, kesulitan bernafas, batuk, menggigil dan gangguan sistim syaraf pusat. Pada kondisi alam, kasus toksoplasmosis dengan akibat keguguran pada sapi, tidak lagi dijumpai. Kemungkinan besar sapi-sapi tersebut telah mendapatkan imunitas perolehan, sehingga suatu pengobatan khusus pada sapi terhadap toksoplasmosis tidak mutlak diperlukan (Dubey dan Beattie, 1988).
Daging sapi kurang memiliki arti yang penting bagi sumber infeksi toksoplasmosis pada manusia. Susu sapi yang di dapat dari peternakan juga jarang dijumpai adanya kontaminasi akibat infeksi toksoplasmosis. Apabila susu sapi tersebut terkontaminasi oleh oosista toksoplasma misalnya, maka besar kemungkinan parasit tersebut akan mati dalam proses pasteurisasi (Dubey dan Beattie, 1988).
Pada Kucing
Kucing dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting sebagai kunci dalam perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis. Biasanya oosista toksoplasma akan dilepaskan oleh kucing dalam keadaan belum bersporulasi. Setelah sporulasi, di dalam oosista tersebut berkembang menjadi 2 sporosista yang masing-masing mengandung sporozoit. Kucing di seluruh dunia merupakan sumber laten dari infeksi Toxoplasma gondii. Kucing-kucing di Eropa Tengah terdeteksi antibodinya terhadap Toksoplasmosis sebanyak 20 - 90 %. Namun demikian bagi kucing yang diberi makan yang matang dan senantiasa tinggal di rumah, sangat jarang sekali terinfeksi toksoplasmosis. Dari sampel-sampel tinja kucing yang diperiksa di Eropa, didapat prevalensi oosista yang berkisar antara 0,1 - 6 % (Rommel et al., 1987).
Kucing dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting sebagai kunci dalam perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis. Biasanya oosista toksoplasma akan dilepaskan oleh kucing dalam keadaan belum bersporulasi. Setelah sporulasi, di dalam oosista tersebut berkembang menjadi 2 sporosista yang masing-masing mengandung sporozoit. Kucing di seluruh dunia merupakan sumber laten dari infeksi Toxoplasma gondii. Kucing-kucing di Eropa Tengah terdeteksi antibodinya terhadap Toksoplasmosis sebanyak 20 - 90 %. Namun demikian bagi kucing yang diberi makan yang matang dan senantiasa tinggal di rumah, sangat jarang sekali terinfeksi toksoplasmosis. Dari sampel-sampel tinja kucing yang diperiksa di Eropa, didapat prevalensi oosista yang berkisar antara 0,1 - 6 % (Rommel et al., 1987).
Perkembangan dari oosista pada kucing berlangsung secara aseksual melalui skizogoni yang terjadi di dalam sel epitel usus halus. Proses pembentukan oosista hingga dikeluarkan bersama-sama dengan feses berlangsung 1-14 hari tergantung bentuk infeksi awal yang diperoleh. Pada keadaan oksigen, kelembaban dan temperatur yang sesuai, sporulasi oosista hingga infektif dapat berlangsung dalam 2 - 4 hari.
Selain perkembangan di dalam intestinum, oosista juga aktif berkembang di luar usus atau organ pada kucing sebagaimana perkembangan yang terjadi pada hospes perantara lainnya. Pada hari ke 9 - 10 setelah infeksi terjadi dapat ditemukan adanya sista di dalam otot jantung dan otak serta beberapa organ yang lain. Infeksi ini bertahan paling sedikit 1,5 tahun hingga sepanjang umur dari hospes. Kucing yang mendapat infeksi oosista per oral, selanjutnya oosista tersebut dapat menembus organ-organ dalam dan berkembang lebih lanjut sebagaimana di dalam jaringan hospes perantara (perkembangan endodiogeni dan pembentukan sista). Setelah melampaui perkembangan tersebut, parasit akan kembali ke dinding usus dan mengalami perkembangan secara skizogoni dan gametogoni lebih lanjut dengan periode prepaten 20 - 36 hari (Boch, 1984; Dubey dan Beattie, 1988; Rommel et al., 1987).