Home » , , , , , » Peneliti yang Berjalan Mengikuti Arus Sosial

Peneliti yang Berjalan Mengikuti Arus Sosial

Written By Panji Revolusi on Saturday, October 19, 2013 | 5:53 PM

Banyak di antara wawancara itu berjalan sangat ‘mengikuti arus’ diskusi, yang memasukkan suatu wawancara percakapan informal (Patton, 1990:280).  Prinsip-prinsip wawancara yang kreatif (ketika para pewawancara menyesuaikan wawancara mereka dengan situasi yang selalu berubah) juga dintegrasikan (Douglas, 1985).
 
Interaksi antara saya sendiri dan para klien serta para pemberi bantuan yang ditunjuk, kebanyakan di antara mereka baru saya jumpai pertama kali, merupakan suatu proses penerimaan dan hubungan timbal balik, mencoba mengembangkan suatu konteks dan aturan-aturan interaksi yang dialami bersama.  Proses ini mencerminkan bagaimana cara-cara lokal dalam berinteraksi dilaksanakan, termasuk usaha-usaha bersama untuk ‘membuat koneksi’ satu sama lain, untuk ‘berjalan mengikuti arus’ diskusi sambil menikmati makanan dan minuman di tengah-tengah diskusi.
 
Membuat koneksi satu sama lain didemonstrasikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang tempat asal usul satu sama lain. Saya menyadari bahwa penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyinggung latar belakang pribadi saya sendiri dan untuk memberikan ruang dan waktu bagi para informan berbicara tentang persoalan-persoalan pribadi serta memperlihatkan suatu minat untuk mengetahui apa yang harus mereka katakan tentang diri mereka sendiri.  Saya merasa bahwa tepat budaya itu ‘berjalan mengikuti arus’ diskusi karena saya sendirilah yang sebenarnya  ‘berkunjung dan bertanya’.  Kadang-kadang  hal ini berbelit-belit yang memungkinkan para informan menyimpang dari topik diskusi, bahkan membuat isi  wawancara tampak tidak relevan.  Berbagi makanan dan minuman adalah bagian dari proses interaksi antara para informan  dengan saya.  Sementara hal ini barangkali tampak biasa dalam kaitan dengan praktek pekerjaan sosial, ini adalah bagin dari mengamati etika sosial suatu masyarakat tertentu, yang tampaknya penting dalam mengembangkan hubungan baik di antara kedua pihak.  Secara ringkas, praktek-praktek sosial yang biasa dilakukan di antara orang-orang konteks  Sarawak digunakan untuk mengembangkan relasi dalam proses wawancara.

Melebur dalam Suasana Lokal Masyarakat
Saya secara naluriah menyesuaikan diri dengan cara-cara lokal dalam berinteraksi.  Ini berkaitan dengan apa yang boleh dan tidak boleh ditanyakan dan siapa yang boleh menanyakan apa kepada siapa.  Sebagai contoh, saya menjalin relasi dengan para sesepuh secara berbeda, berbicara sedikit dan mendengar lebih banyak sesuai dengan norma-norma lokal bagaimana seorang anak muda seharusnya berhubungan dengan seorang sesepuh.  Suatu kasus dalam hal ini adalah seorang sesepuh penghulu (berusia 72 tahun) yang berbicara cukup lama tentang gaya kepemimpinan dan manajemennya dan saya harus menghormatinya.  Informan ini juga hanya mengambil sedikit pesan dari saya dan ia memprakarsai sendiri topik pembicaraan.  Saya diingatkan oleh pengalaman Briggs sebagai seorang peneliti muda yang diharapkan terus mendengarkan dan mempelajari peran dari seorang sesepuh (Briggs, 1986) dan mengambil suatu peran yang sama secara  otomatis.
 
Juga, topik-topik yang bersifat tabu yang dapat menimbulkan ketersinggungan yang tidak boleh dibicarakan, sebagai contoh, hal tentang kehamilan di luar nikah. Saya menahan diri untuk tidak memunculkan isu ini dengan seorang penghulu Islam Melayu (walaupun saya sadar bahwa hal seperti itu ada di desa-desa), sedangkan hal itu dibicarakan secara terbuka oleh penghulu yang berlatar belakang Iban dan Cina tanpa perlu saya dorong.
 
Dalam hal gaya komunikasi pada wawancara, tercatat bahwa kebanyakan mencerminkan gaya suatu budaya berkonteks tinggi, yaitu, banyak berlandaskan pada isyarat nonverbal, konteks dan pengalaman yang dialami bersama (Hall, 1973, 1977).  Penggunaan suatu gaya komunikasi tidak langsung tercermin dalam cara yang digunakan oleh para pemberi bantuan yang ditunjuk, khususnya orang-orang berlatar belakang Melayu di konteks pedesaan, yang tidak memberi acuan langsung tentang penggunaan sebutan saya dan anda. Ini konsisten dengan bahasa Melayu yang menghindari fokus pada diri sendiri – penggunaan saya atau anda dihindari karena dianggap tidak sopan.  Tidak bolehnya hal ini digunakan dalam kalimat-kalimat percakapan adalah refleksi suatu masyarakat yang kurang memainkan peran individu (Asmah Haji Omar, 1985).
 
Serara ringkas, keseluruhan proses tugas lapangan menjadi sumber data yang penting bagi refleksi tentang bagaimana budaya sangat berpengaaruh dalam penelitian dan juga  praktek.  Metafora ‘melintasi perbatasan’ lebih dapat menyampaikan pengalaman-pengalaman saya dan konseptualisasi wawasan-wawasan yang berkembang.